Oleh: Heri Darmadi
Pengertian Hutan, Fungsi dan Klasifikasinya
Secara etimologis, hutan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta, berarti kumpulan rapat pepohonan dan berbagai tumbuhan lainnya dalam suatu wilayah tertentu. Hutan adalah habitat bermacam spesies tumbuhan, spesies hewan, beberapa kelompok etnik manusia, yang berinteraksi satu sama lain, sekaligus dengan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan letak geografisnya, hutan bumi terbagi dalam tiga kelompok besar: hutan tropis, hutan subtropis (temperate), dan hutan boreal. Secara garis besar hutan mempunyai empat fungsi utama yaitu; hutan sebagai payung dunia, hutan sebagai paru-paru bumi, hutan sebagai resapan air, dan hutan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan primer.
Fungsi hutan sebagai payung dunia ialah bahwasanya kerapatan jarak antar pohon dan ketinggian pepohonan di hutan dapat berfungsi sebagai penutup permukaan tanah yang gembur dan subur. Dedaunan pohon di hutan dapat di fungsikan sebagai penahan derasnya hujan secara langsung sehingga permukaan tanah tidak terkena aliran hujan secara langsung sehingga kesuburan tanah tetap terjaga. Apabila tanah terkena aliran hujan secara langsung maka bagian tanah yang bersifa gembur akan terkikis (terjadi erosi) sehingga lama-kelamaan akan menimbulkan tanah longsor.
Sebagai paru-paru bumi hutan memproses karbon dioksida yang merupakan residu dari kegiatan manusia menjadi zat-zat yang tidak membahayakan manusia. Kemampuan hutan hujan dalam menyerap karbondioksida, membuat suhu dan iklim di bumi selalu seimbang. Seandainya fungsi hutan sebagai 'paru-paru-nya dunia' itu terganggu, suhu dan iklim di bumi akan selalu bergerak ke titik ekstrem : kadang temperaturnya terlalu rendah, kadang temperaturnya bisa terlalu tinggi.
Fungsi hutan sebagai resapan air, bahwasanya hutan dengan perakaranya yang rapat berfungsi sebagai penahan tanah dan juga aliran air. Keadaan tanah di hutan yang gembur dan berpori mempermudah proses air untuk meresap. Namun demikian fungsi hutan ini pada waktu sekarang masih sering terabaiakan. Sehingga pada waktu musim pernghujan banyak daerah terendam banjir namun pada waktu musim kemarau justru terjadi kekeringan.
Hutan kaya akan berbagai tumbuhan, hewan dan kekayaan alam yang lainya. Ketika seseorang butuh pangan, mereka bisa mencari di hutan, ketika butuh obat-obatan, di hutanpun juga tersedia, begitu pula dengan kebutuhan kebutuhan hidup yang lain. Kekayaan dari hutan ini sesungguhnya apabila digunakan secara bijak, sesungguhnya masih sangat mecukupi kebutuhan manusia. Namun sayangnya saat ini manusia hanya mengeksploitasi hutan untuk kepentingan ekonomi semata tanpa memperhatikan kelestariaanya dan skala kebutuhanya.
Kerusakan Hutan
Kerusakan hutan yang terjadi dewasa ini sudah sampai pada tahap yang serius dan mengancam eksistensi planet bumi di mana manusia, hewan dan tumbuhan bertempat tinggal dan melanjutkan kehidupannya. Manusia modern saat ini sedang melakukan pemusnahan secara perlahan akan tetapi pasti terhadap eksistensi hutan yang menopang kehidupannya. Masalah ini tentunya akan menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan baru yang lebih kompleks.
Maraknya praktik Illegall Logging/penebangan hutan yang dilakukan secara liar. merupakan salah satu penyebab terbesar dari kasus-kasus kerusakan hutan yang terjadi. Data yang diperoleh Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Sementara penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Kabar Indonesia, 16 Maret 2009).
Berbagai kasus kerusakan hutan yang menimpa Indonesia tadi masih diperparah dengan kebrobrokan produk perundang-undangan yang dibuat oleh para pengusa pembuat undang-undang. Misalnya saja diterbitkanya PP No 2/2008 yang seperti telah diketahui bahwa pemerintah telah mengeluarkan PP tersebut guna memberikan izin kepada 14 perusahaan tambang untuk melakukan pembukaan hutan lindung dan hutan produksi dengan tarif sewa Rp 120 untuk hutan produksi dan Rp 300 per meter per segi pertahun (WALHI, 2008). Apabila kita lihat secara langsung terbitnya UU tersebut tentunya tidak memihak peda pelestarian lingkungan tetapi justru memihak kepada para pemilik modal yang mengelola hutan untuk memperoleh keuntungan.. Apabila kita tinjau kembali kasus-kasus kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh 3 faktor utama yaitu kepentingan ekonomi, penegakan hukum yang lemah, dan mentalitas manusia (Manurung, 2007)
Dalam mengelola hutan kepentingan ekonomi kelihatannya masih lebih dominan daripada memikirkan kepentingan kelestarian ekologi. Akibatnya agenda yang berdimensi jangka panjang yaitu kelestarian ekologi menjadi terabaikan. Proses ini berjalan linear dengan akselerasi perekonomian global dan pasar bebas. Pasar bebas pada umumnya mendorong setiap negara mencari komposisi sumberdaya yang paling optimal dan suatu spesialisasi produk ekspor. Negara yang kapabilitas teknologinya rendah seperti Indonesia cenderung akan membasiskan industrinya pada bidang yang padat yaitu sumber daya alam. Hal ini ditambah dengan adanya pemahaman bahwa mengeksploitasi sumber daya alam termasuk hutan adalah cara yang paling mudah dan murah untuk mendapatkan devisa ekspor. Industrialisasi di Indonesia yang belum mencapai taraf kematangan juga telah membuat tidak mungkin ditinggalkannya industri padat seperti itu. Kemudian beban hutang luar negeri yang berat juga telah ikut membuat Indonesia terpaksa mengeksploitasi sumber daya alamnya dengan berlebihan untuk dapat membayar hutang negara. Inilah yang membuat ekspor non- migas Indonesia masih didominasi dan bertumpu pada produk-produk yang padat seperti hasil-hasil sumber daya alam. Ekspor kayu, bahan tambang dan eksplorasi hasil hutan lainnya terjadi dalam kerangka seperti ini. Ironisnya kegiatan-kegiatan ini sering dilakukan dengan cara yang exploitative dan disertai oleh aktivitas-aktivitas illegal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau kecil bahkan masyarakat yang akhirnya memperparah dan mempercepat terjadinya kerusakan hutan.
Penegakan dalam kasus pembalakan hutan di Indonesia pada kenyataanya hukum barulah menjangkau para pelaku di lapangan saja yang notabene mereka hanya orang-orang upahan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-harinya. Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling bertanggungjawab. Orang yang menyuruh mereka dan paling bertanggungjawab sering belum disentuh hukum. Mereka biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan kepada penguasa. Kejahatan seperti ini sering juga melibatkan aparat pemerintahan yang berwenang dan seharusnya menjadi benteng pertahanan untuk menjaga kelestarian hutan seperti polisi kehutanan dan dinas kehutanan. Keadaan ini sering menimbulkan tidak adanya koordinasi yang maksimal baik diantara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sehingga banyak kasus yang tidak dapat diungkap dan penegakan hukum menjadi sangat lemah.
Pemikiran Antroposentis menjadikan manusia sebagai penguasa alam semesta. Seolah-olah hanya dirinya saja yang berhak mengatur bumi beserta isinya termasuk hutan. Bahkan posisi seperti ini sering ditafsirkan memberi lisensi kepada manusia untuk “menguasai” hutan. Karena manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, maka keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun sering lebih banyak di dominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang exploitative yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi pemerintahan mentalitas demikian juga seakan-akan telah membuat aparat tidak serius untuk menegakkan hukum dalam mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat di dalamnya.
Dampak Kerusakan Hutan
a.Efek Rumah Kaca (Green house effect).
Meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil yang dibarengi dengan pembabatan hutan secara besar-besaran menyebabkan absorbs (penyerapan) gas Co2 hasil dari pembakaran tadi tidakdapat diserap secara maksimal. Laut yang tadinya turut andil dalam menyerap gas ini, kini semakin berkurang daya serapnya. Semakin lama gas CO2 yang berada di atmosfer bumi akan menumpuk. Sebagaimna kita ketahui bahwa gas CO2 mempunyai sifat meneruskan sinar matahari menuju ke bumi tetapi tidak memantulkanya kembali ke bumi gelombang panas yang berasal dari bumi. Sehingga suhu di permukaan bumi meningkat. Jika peristiwa ini terjadi terus menerus maka akan menyebabkan lelehnya es yang ada di kutub bumi sehingga permukaan air laut akan meningkat. Ketika permukaan laut meningkat makan akan banyak kota-kota ataupun pulau dan wilayah pulau menjadi terendam air. Di satu sisi terjadi kebanjiran namun pada daerah dataran tinggi yang tidak terendam air akan menjadi semakin kering karena peningkatan suhu bumi. Selain itu Gas CO2 yang dihasilaka dari pembakaran fosil tadi akan mengikat lapisan ozon (O3) yang menutupi lapisan bumi. Jika ini terjadi maka akan terbentuk lubang ozon di permukaan atmosfer yang menyebabkan sinar-sinar radiasi yang berbahaya dari matahari tidak dapat dibendung dan membahayakan keselamatan penghuni bumi.
b.Kerusakan Lapisan Ozon
Selain itu Gas CO2 yang dihasilaka dari pembakaran fosil tadi akan mengikat lapisan ozon (O3) yang menutupi lapisan bumi. Lapisan Ozon (O3) yang menyelimuti bumi berfungsi menahan radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan di bumi. Jika ini terjadi maka akan terbentuk lubang ozon di permukaan atmosfer yang menyebabkan sinar-sinar radiasi yang berbahaya dari matahari tidak dapat dibendung dan membahayakan keselamatan penghuni bumi.
c.Kepunahan Species
Hutan di Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Dengan rusaknya hutan sudah pasti keanekaragaman ini tidak lagi dapat dipertahankan bahkan akan mengalami kepunahan.
d.Merugikan Keuangan Negara.
Sebenarnya bila pemerintah mau mengelola hutan dengan lebih baik, jujur dan adil, pendapatan dari sektor kehutanan sangat besar. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya tahun 2003 jumlah produksi kayu bulat yang legal (ada ijinnya) adalah sebesar 12 juta m3/tahun. Padahal kebutuhan konsumsi kayu keseluruhan sebanyak 98 juta m3/tahun. Data ini menunjukkan terdapat kesenjangan antara pasokan dan permintaan kayu bulat sebesar 86 juta m3. Kesenjangan teramat besar ini dipenuhi dari pencurian kayu (illegal loging). Dari praktek tersebut diperkirakan kerugian yang dialami Indonesia mencapai Rp.30 trilyun/tahun. Hal inilah yang menyebabkan pendapatan sektor kehutanan dianggap masih kecil yang akhirnya mempengaruhi pengembangan program pemerintah untuk masyarakat Indonesia (Manurung, 2007).
e.Banjir.
Sebagaimana kita ketahui bahwa hutan berfungsi sebagai penangkap dan penyerap air. Ketika hutan mulai gundul dan terjadi hujan maka air tidak dapat diserap sehingga terjadi luapan air di pemukaan bumi. Jika ini terjadi terus menerus keberadaan air yang berada di bawah permukaan tanah akan semakin habis, sehingga akan tergantikan oleh air laut. Disamping terjadi aliran luapan air (banjir) derasnya aliran air hujan yang berada di permukaan dataran tinggi disertai dengan tidak adanya penahan ermukaan tanah sangat rawan sekali menimbulkan terjadinya tanah longsor.
Etika lingkungan Hidup
Etika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Maksudnya, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri sendiri atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Etika digunakan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma secara lisan oleh masyarakat, sehingga dikenal, dipahami dan dilaksanakan masyarakat (mauludin, 2008). Etika lingkungan hidup dipahami sebagai refleksi kritis atas norma-norma dan prinsip atau nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia untuk diterapkan secara lebih luas dalam komunitas biotis atau komunitas ekologis
Sikap dan perilaku seseorang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh bagaimana pandangan seseorang terhadap sesuatu itu. Hal tersebut berlaku untuk banyak hal, termasuk mengenai hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Manusia memiliki pandangan tertentu terhadap alam, di mana pandangan itu telah menjadi landasan bagi tindakan dan perilaku manusia terhadap alam. Pandangan tersebut dibahas dalam tiga teori utama, yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmetal Ethics. Ketiga teori ini dikenal di Indonesia juga sebagai Antroposentisme, Biosentrisme, dan Ekosentrisme.
.
a.Antroposentirme
Berasalkan dari kata antropos = manusia, adalah suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan ini berisi pemikiran bahwa segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan manusia dan kepentingannya. Karena pusat pemikiran adalah manusia, maka kebijakan terhadap alam harus diarahkan untuk mengabdi pada kepentingan manusia.Alam dilihat hanya sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Dengan demikian alam dilihat tidak mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Alam dipandang dan diperlakukan hanya sebagai alat bagi pencapaian tujuan manusia.Dituduh sebagai salah satu penyebab bagi terjadinya krisis lingkungan hidup. Pandangan inilah yang telah menyebabkan manusia berani melakukan tindakan eksploitatif terhadap alam, dengan menguras kekayaan alam demi kepentingannya. Walau banyak kritik dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun sebenarnya argumen yang ada di dalamnya cukup sebagai landasan yang kuat bagi pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan lingkungan hidup yang baik, maka demi kepentingan hidupnya, manusia memiliki kewajiban memelihara dan melestarikan alam lingkungannya.
Antroposentrisme bersifat instrumentalis, di mana pola hubungan manusia dengan alam hanya terbatas pada relasi instrumental semata. Alam dilihat sebagai alat bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Kalaupun manusia bersifat perduli terhadapa alam, hal itu dilakukan semata-mata demi menjamin kebutuhan dan kepentingan hidup manusia, dan bukan atas pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Teori ini jelas bersifat egoistis karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Itulah sebabnya teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan yang dangkal dan sempit
Antroposentrisme bersifat teologis karena pertimbangan yang diambil untuk perduli terhadap alam didasarkan pada akibat dari tindakan itu bagi kepentingan manusia. Teori antroposentisme telah telah dituduh sebagai salah satu penyebab bagi terjadinya krisis lingkungan hidup. Pandangan inilah yang telah menyebabkan manusia berani melakukan tindakan eksploitatif terhadap alam, dengan menguras kekayaan alam demi kepentingannya.Walau banyak kritik dilontarkan terhadap teori antroposentrisme, namun sebenarnya argumen yang ada di dalamnya cukup sebagai landasan yang kuat bagi pengembangan sikap kepedulian terhadap alam. Manusia membutuhkan lingkungan hidup yang baik, maka demi kepentingan hidupnya, manusia memiliki kewajiban memelihara dan melestarikan alam lingkungannya
Pemahaman ini terpusat kepada manusia sebagai pemegang seutuhnya alam. Dalam pemikiran ini alam akan mendapatkan perhatian hanya ketika mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kepentingan manusia dianggap segalanya tanpa memperhatikan prioritasnya. Alam hanya dipandang sebagai “piranti” pemenuh kebutuhan manusia. Kalaupun manusia melakukan pengelolaan dan penjagaan alam dengan baik, itu semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhannya semata agar terjamin kehidupannya.
Jika kita sejenak mendalami uraian diatas tentunya kita dapat menarik kesimpulan sikap atas alam bagi orang yang menganut teori ini. Yang pertama adalah orang yang peduli akan lingkunganya karena timbul kesadaran bahwa walaupun alam ini hanya untuk manusia namun harus menjaganya juga untuk kelangsungan hidup manusia. Pandangan ini merupakan sikap yang bijakk atas pandanganterhadap alam dari teori antroposentris. Sikap yang kedua adalah mereka yang memanfaatkan alam dengan semau mereka. Mereka berpadangan bahwa hanya manusia yang berhak untuk mengolah alam, apapun yang terjadi/ menimpa linkungan itu tidak ada pertanggungjawabanya karena linkungan (biotic maupun abiotik) tidak pantas diperlakukan secara moral.
b.Biosentrisme
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral, atau dengan kata lain kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan.
Dalam biosentrisme setiap kehidupan dipandang begitu berarti dan sangat bernilai entah hal itu bermanfaat bagi kehidupan manusia ataupun tidak. Dengan kata lain pemikiran biosentrisme sangat menentang/berlawanan dengan antroposentrisme yang memandang bahwa yang perlu diperlakukan secara moral iru hanya manusia saja. Biosentrisme berpandangan bahwa mahluk hidup bukan hanya manusia saja. Ada banyak hal dan jenis mahluk hidup yang memiliki kehidupan.
Pandangan biosentrisme mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada mahluk hidupnya. Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan, maka secara moral berlaku prisip bahwa setiap kehidupan dimuka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Oleh karena itu, kehidupan setiap mahluk hidup pantas diperhitungkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia. Secara garis besar dalam biosentrisme erdapat beberapa poin penting yang perlu digaris bawahi yaitu:
Memacu dan menjaga pertumbuhan kehidupan
Alam dan isinya mempunyai nilai yang sangat berarti bagi dirinya sendiri. Mereka mempunyai nilai karena mereka hidup, sehingga mereka perlu diperlakukan sevcara moral.
Manusia dipandang bernilai sama dengan makhluk hidup yang ada di bumi ini, hanya saja manusia mempunyai naluri dan pikiran yang berfungsi sebaai pembeda antara subjek moral dan objek moral.
Teori biosentrisme, yang disebut juga intermediate environmental ethic, harus dimengerti dengan baik, khususnya menyangkut kehidupan manusia dan mahluk-mahluk hidup yang lain di bumi ini. Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral yang sama kepada semua mahluk hidup. Disini dituntut bahwa alam dan segala kehidupan yang terkandung didalamnya haruslah masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral. Manusia tidak mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.
c.Eksosentrisme
Jika di dalam antroposentrisme lingkungan hidup manusia bukan merupakan hal yang pantas diperlakukan secara moral, kemudian di dalam biosentrisme terjadi perubahan total pandangan bahwa segala kehidupan yag ada di bumi ini adalah objek moral dan pantas diperlakukan secara moral. Sekilas pandang biosentrisme sudah cukup menampung ke hidupoan yang ada di bumi ini. Namun, apabila kita memandang secara luas bahwa ikan hidup karena ada air, dan burung dapat terbang karena ada udara, dan peristiwa lainya maka kita akan tersadar bahwa kita masih melupakan satu hal penting yaitu lingkungan. Kita tidak dapat memisahkan kehidupan kyang ada dengan lingkungan kerena lingkungan merupakan suber kehidupan dan tempat untuk hidup.
Pembaruan pandangan ini kemudian memunculkan teori baru penyerpunaan dari teori biosentris yang disebut dengan ekosentris. Di dalam ekosentris perhatian dari teri ini bukan hanya berpusat pada manusia melainkan pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dalam upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral.
Pandangan Manusia Terhadap Alam Semesta (lingkungan), Hidup, dan Kehidupan
Didalam kehidupan islam, terdapat satu pokok pilar yang sangat penting yang akan mendasari keimanan seseorang. Jika pilar itu tidak tertanan kokoh makaadakalanya bangunan yang disangganya akan roboh ketika tertimpa angin yang kecil. Begitu pula apabila manusia tidak mempunyai pilar itu maka ia tidak akan mampu menopang kehidupanya, sehingga kehidupanya berjalan tanpa aturan dan pasti akan menyebabkan kehancuran. Namun, bila pilar itu berdiri kokoh maka sesungguhnya pilar itu akan siap menopang dang menyangga bangunan yang didalamnya terdapat kemuliaan dan kebaikan yang menentramkan jiwa baik di dunia maupun di akhirat.
Pandangan tentang alam semesta hidup dan kehidupan ini telah mendasari ideologi-ideologi (mabda’) besar yang ada di dunia ini. Di dalam ideologi sosialis yang mereka memandang segala sesuatu berorientasi kepada tidak adanya sang pencipta (khaliq). Mereka memandang bahwa manusia hidup di duia ini ada dengan sendirinya dan peristiwa kematian adalah suatu titik akhir dari kehidupan. Sehingga dalam penerapanya di dunia mereka cenderung memandang bahwa hidup itu hanya sekali didunia saja sehingga dalam kita hidup kita harus memanfaatkanya untuk kebahagiaan kita semata karena setelah kehidupan di dunia tidak ada lagi kehidupan sehingga tidak ada pertanggungjawaban terhadap hidupnya didunia. Kehidupan dunia mereka anggap sebagai ” kesempatan” untuk menikmati hidup bebas tanpa aturan yang mengikat jelas. Kalaupan ada aturan itu semata-mata demi kebaikan hidup mereka semata, bukan berdasarkan adanya pertangguangjawaban terhadp kehidupanya didunia. Tentunya kita dapat membayangkan jika ideology ini diterpkan secara murni di bumi ini apa yang akan terjadi?
Pandangan kedua adalah pemikiran sekuler yang berorientasi pada ideologi kapitalis. Pemikiran ini awalnya berdasarkan dari konflik antara pihak gereja, negara dan rakyat di eropa. Pada awalnya segala kebijakan dan keputusan, baik itu dalam ilmu pengetahuan, hukum maupun peradilan segalanya ditangani oleh gerja. Semakin lama keputusan-keputusan yang diambil gereja bertentangan dengan golongan-golongan yang ada misalnya para ilmuan, juga ketidakpercayaan rakyat terhadap kepemimpinan gerja menimbulkan pertentangan antara ihak gereja (dalam hal ini sebagai pengampu agama) dan rakyat (sebagai orang yang menjalankan agama), sehingga terjadi kesepakatan antara pihak gereja dengan pihak penganut agama untuk memisahkan antara kehidupan beragama dengan kehidupan dunia yang sekarang lebih akrab kita kenal dengan sekulerisme. Kemudian dalam penerapanya manusia mulai menciptakan produk peraturanya sendiri tanpa kembali memandang dari sudut keagamaanya. Mereka mulai terlena dengan khidupan dunianya tanpa mengingat/menjalankan kewajiban agamanya. Segala kesalahanya di dunia mereka anggap diampuni dengan adanya proses pengakuan dosa.
Dari latar sejarah tentunya kita dapat memandang seperti apa dampak yang timbul dari pemikiran ini. Atas dasar pandangan ini kemudian kaum sekuler berpandangan bahwa ketika hidup di dunia ini adalah “kesempatan” baginya untuk mendapatkankan kebahagiaan yang sebesar-besarnya karena dalam hidup ini tidak aka nada lagi dosa. Dosa akan dengan mudah diampuni seberapabesarpun itu dengan ritual pengakuan dosa. Seperti apapun yang mereka lakukandi kehidupan dunia ini itu adalah hak mereka dan agama tidak mempunyai hak untuk mengaturnya. Untuk mendaptkan kebahagiaanya, karena mereka hidup bersama dengan sesamanya, kemudian timbul persaingan diantara mereka yang tanpa aturan yang jelas sehingga terjadi persaingan yang tidak adil yang kuat menindas yang lemah.segala kebahagiaan dunia mereka ukur dengan tolak ukur materi. Pemikiran ini kemudian mulai merambah ke dalam system perekonomian kemudian mereka menamaknya dengan sistim perekonomian kapitalis.
Sejenak kita kembali mengulas ulang tentang objek pemikiran kapitalis yaitu materi dijadikan tolak ukur kebahagiaan, karena agama hanya berperan dalam kehidupanya sebelum dan setelah di dunia. Karena dalam pandangam kapitalis orang yang kuat adalah penguasa maka dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya alam pun mereka menerapkanya. Mereka menambang kekayaan alam tanpa meperhatikan lingkunganya, mereka merambah hutan tanpa melihat dampaknya. Ini semua terjadi karena peraturan juga merupakan produk buatan manusia yang bisa mereka atur, dan juga tidak adanya pertanggungjawaban yang “nyata” terhadap kehidupanya di dunia stelah mati kelak.
Di dalam ajaran Islam pandangan akan alam semesta hidup dan kehidupan saling berkaitan. Sebelum adannya manusia dan isi bumi terlebih dahulu Allah menciptakanyan dahulu sebagaimana firmanya:
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. (TQS. At-Thariq:5-7)
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[30], Padahal kamu mengetahui.(Al-Baqarah:22)
Dari dua dalil tadi dan masih banyak dalail yang lainya menyatakan hubungan keterkaitan antara kehidupan sebelum di dunia dan saat di dunia. Kemudian ketika manusia hidup di duniapun Allah terlah mengaturnya dengan penciptaan pedoman hukum yang sempurna sepanjang masa karena berasal dari sang Khaliq yang menciptakan alam semesta dan isinya sehingga tentunya lebih tau tentang alam dan isinya dibandingkan dengan manusia. Dalm hal ini Allah SWT befirman
bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, Maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. (Al-Hajj:67)
Kemudian stelah kehidupan di dunia aka nada pertanggungjawaban lagi guna diproses di hari kiamat atau dengan kata lain kehidupan tidak hanya berakhir di dunia saja sebagaimana firman-Nya:
dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.(Al-Baqarah:4)
Maka Apakah Dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, (al-‘Adiyaat:9)
Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya. (Al Insyiqaaq:6)
Kemudian setelah itu aka nada hari pembalasan
dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan Setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa, (Al Muthaffifin:12)
Itulah tadi sekilas perbandingan antara tiga pamikiran mendasar dan hubunganya antara alam semesta hidup dan kehidupan. Selanjutnya dalam penanganan masalah hutan Islam juga mempunyai dasar-dasar yang mengatur mengenai masalah ini. Di dalam ajaran islam manusia terikat dengan aturan-aturan yang bersifat mengikat baik di dunia maupun diakhirat, sehingga manusia menjadi lebih bertanggungjawab pada tindakanya terhadap alam, hidup, dan kehidupan. Sebagaimana kita ketahui dalam uraian singkatt diatas bahwa di dalam ajaran islam terdapat peraturan peraturan yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan penciptanya dan manusia dengan lingkungan.
Di dalam islam hutan dipandang sebagai benda kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu ataupun pemerintah. hal ini didasarkan pada hadist Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah) yaitu;
Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api."
Dalam konteks pemahaman ini rumput merupakan sekumpulan tumbahan yang hidup pada stu wilayah sehingga dapat dipahami/dikiaskan sebagai hutan, sedangkan api adalah sumber panas yang semakin lama dipahami/dikiaskan sebagai sumber energi, kemudian untuk air meliputi air yang ada di daratan maupun air yang ada dilautan beserta seluruh isinya.
Pertama, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya. Kemudian untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah --sebagai wakil kaum muslimin-- yang berhak untuk mengelolanya
Dalam hal ini pengelolaan hutan yang sedemikian rupa luasnya dan begitu kompleksnya kesulitan perawatan hutan oleh perorangan, maka hutan dalam pengelolaanya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai amanah dari rakyat. Sabda Rasulullah SAW :
"Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)." (HR. Muslim)
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.
. Segala kebijakandalam hal pengelolaan hutan dalam hal politik dilakukan oleh pemerintah pusat. Naun, dalam hal administrative diserahkan kepada pemerintah setempat. Hal ini didasarkan atas adanya kaidah fiqih : al- ashlu fi al-af'aal al-idariyah al-ibahah (hukum asal aktivitas administrasi/manajerial adalah boleh). Jadi pada dasarnya urusan administrasi itu adalah boleh bagi Khalifah untuk menetapkannya sendiri, dan boleh juga Khalifah mendelegasikannya untuk ditetapkan dan ditangani oleh Wali (Gubernur) di daerah. Kemudian dalam pengelolaan hasil hutan yang dilakukan oleh Negara, segala pendapatanya langsung dimasukkan kedalam Baitul Mal (kas Negara) dari sector kepemilikan umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam. Kaidah fikih menyebutkan :"Tasharruf al-Imaam ‘alaa al-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah."
(Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas kemaslahatan)
Dalam pengelolaan hutan juga negar diperbolehkan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan tertentu untuk suatu kepentingan yang bersifat khusus. Misalnya, untuk keperluan perang (jihad fil sabilillah) atau untuk kepentingan lainya yang bersifat mrndesak. Ini semua didasarkan pada hadist bahwasanya Rasullulah SAW pernah melakukan kebijakan trhadap padang rumput di dekat kota madinah. Namun, pengelolaan ini boleh dilakukan apabila dalam keadaan yang benar-benar mendesak, tidak boleh untuk pembangunan manupn gaji untuuk para karyawan Negara. Negara juga wajib untuk mengawasi jalanya pengelolaan hutan agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Kewajiban ini diserahkan kepada Muhtasib (orang yang pekerjaanya mengawasi agar hak-hak pokok masyarakat secara uumum tidak terganggu, termasuk pengerusakan hutan) Muhtasib diperkenankan untuk memberi sangsi langsung kepada mereka yang melanggar peraturan-peraturn yang ada. Hasil daripada hutan kemudian diserahkan kepada kas Negara oleh pengurusnya. Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.
Dalam kaidah fikih dikatakan, "Adh-dlarar yuzal", artinya segala bentuk kemudharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan. Nabi SAW bersabda, "Laa dharara wa laa dhiraara." (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain. Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati, melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya. Terhadap pihak yang merusak hutan Negara brhak untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap semua pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan perusakan terhadap hutan dapat dikenai sanksi berupa denda, cambukan ataupun bahkan sampai dengan hukuman mati. Sanksi ii deberikan agar dapat menimbulkan efek jera di masyarakat.
Kesimpulan
Dalam melihat kasus pengelolaan hutan dalam islam dan dibandingkan dengan saat ini, penulis menyoroti bebrapa kesipulan antaralain;
Suatu pandangan etika terhadap alam baik seperti apapun itu bentuknya, akan menjadi baik apabila di emban oleh orang-orang yang baik pula.
Pemahaman islam dalam memahami etika lingkungan (biosentris, antroposentris maupun ekosentria), sesungguhnya lebih sempurna dari apa yang sudah ada. Islam tidaknya menyoroti etika terhadap sesama, sesama makhluk hidup, lingkungan, tetapi kita juga harus beretika terhadap sang pencipta yang justru merupakan landasan dalam bermoral.
Dalam menangani masalah hutan sesungguhnya islam telah mempunyai peraturan yang jelas tetang pengelolaanya, penguruasanya, maupun mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul.namun, hanya saja manusia kurang memahaminya dengan baik, Islam hanya dianggap sebagai agama ritual semata.
Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia dan di tempat lain dengan berbagai efeknya sesungguhnya merupakan salah satu bukti kegagalan ideology dalam mengelola hubungan manusia dengan sekitarnya.
Daftar Pustaka
Al-Jawi, siddiq.2007.Pengelolaan Hutan BerdasarkanSyari’ah. http://agamadanekologi.blogspot.com/2007/03/pengelolaan-hutan-berdasarkan-syariah.html. (online).diakses 17 maret 2009
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (peraturan hidup dalam islam).Bogor:PustakaTariqul Izzah.
Arif, Zainul Usep.2008 Kerusakan Hutan di Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi Islam.Kabar Indonesia 1 November 2008
Keraf, A Sony.2002.Etika Biosentrisme, Sebuah Evolusi Moral.KOMPAS Sabtu, 16 Februari 2002
Mauludin, Imam.2006.Lingkungan. http://boybppm.blog.friendster.com.(online).diakses 17 Maret 2009
Manurung, Antony.2007.Kerusakan Hutan di Indonesia. http://forumteologi.com/blog/2007/05/27/kerusakan-hutan-di-indonesia/.(online).diakses 17 Maret 2009
Munthe, Hardi.2007.Hak Asasi Atas Lingkungan Adalah Hak Asasi. http://walhisumut.wordpress.com.(online). diakses 17maret 2009
Mawardi, Muhjidin.2008.Teologi Hubungan Manusia dengan Lingkungan. http://irwanreyes77.blogspot.com/2008/12/teologi-hubungan-manusia-dengan-alam.html (online).diakses 17 Maret 2009
Redaktur Pelaksana Cyber MQ.2008.Relasi Bencana Dan Kerusakan Hutan. http://CyberMQ.com/pustaka.(online).diakses 17 maret 2009
WALHI.2008.Presiden Jual Hutan Lindung seharga PisangGoreng. http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konversi/080216_htn_lindung_sp/.(online).diakses 17 maret 2008
cung muleh
BalasHapusmuleh nandi mb?
BalasHapus