Selasa, 01 Maret 2011

Jalan menuju keimanan

“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantunya siang dan malam ada tanda-tanda bagi orang yang berakal?” (QS Al I-Imron: 190)

Uqdatul Kubro
Manusia adalah mahluk yang dikarunia keistimewaan oleh Allah, yang itu tidak diberikan kepada makhluk lainnya yakni akal. Dengan akal itulah manusia dapat berfikir. Ketika manusia dewasa ia mulai mempertanyakan tentang keberadaan dirinya di dunia ini. Ia mulai berpikir tentang beberapa pertanyaan mendasar yang harus ia jawab. Jawaban tersebut akan menjadi landasan dalam kehidupannya. Selama masalah ini belum terjawab, selama itu pula manusia hidup tanpa tujuan yang jelas dan tidak akan berjalan di dunia ini dengan tenang. Karena sifatnya yang demikian beberapa pertanyaan pokok dan mendasar itu sering disebut sebagai ’Uqdatul Kubro’ (masalah/simpul yang sangat besar).
Pertanyaan mendasar tersebut berupa:
* Dari manakah manusia dan kehidupan ini ?
* Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada ?
* Akan ke mana manusia dan kehidupan setelah ini ?

Bila pertanyaan ini terjawab maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya, -- terlepas dari jawabannya benar atau salah. Manusia akan berjalan di dunia ini dengan ‘landasan’ tersebut, berekonomi dan berbudaya berdasar ‘landasan’ itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti ‘landasan’ tersebut.
Jika seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan ‘uqdatul kubra’ dengan jawaban ‘kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup”, maka mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri, dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan bertingkah laku, berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Orang dan kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (malaikat, akhirat, pahala-dosa dsb). Yang mereka percayai hanyalah segala materi yang dapat dirasakan oleh panca indra belaka.
Selain itu ada orang atau suatu kaum yang menjawab “di balik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia”, maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Penciptanya. Standar baik-buruk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta.
Demikianlah gambaran ringkas tentang ‘landasan kehidupan’ seseorang/suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban ‘uqdatul kubro’ manusia. Tetapi bagaimanakah jawaban yang benar terhadap masalah ini?

Pemecahan yang Benar ‘Uqdatul Kubro’
Dengan berbagai usaha berfikir, manusia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan mendasar tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau oleh akalnya. Karena segala hal yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari (1) alam semesta (al kaun), (2) manusia (al insan) dan (3) kehidupan (al hayaah), maka ketiga hal inilah yang dijadikan obyek/media berpikir untuk mencari jawaban yang dimaksud.
Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang mustanir (jernih) dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang jernih, menyeluruh, benar, sesuai dengan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. Proses pencarian keshahihan dari ‘uqdatul qubra’ itu adalah sebagai berikut:

1. Proses keimanan terhadap Al Kholiq (Sang Pencipta)
Islam menjawab bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada Al Kholiq (Sang Pencipta), yang mengadakan semua itu dari tidak ada menjadi ada. Al Kholiq itu bersifat wajibul wujud (wajib/pasti adanya). Ia pun bukan mahluk karena sifatnya sebagai Sang Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukanlah makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta dapat dibuktikan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah, serba kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia merasa terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari ‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya lagi. Begitu pula halnya dengan kehidupan (nyawa), ia bersifat terbatas pula, sebab penampakan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Iapun bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta itupun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Jika sesuatu itu bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidak azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang lain’ inilah yang dinamakan Al Kholiq, yang menciptakan manusia, kehidupan dan alam semesta. Dalam menentukan sifat Al Kholiq (Pencipta) paling tidak ada tiga kemungkinan.
Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Dengan pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa kemungkinan ini adalah kemungkinan yang salah (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab jika Ia diciptakan oleh yang lain maka Ia adalah makhluk dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya.
Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Kemungkinan kedua ini pun juga bathil. Karena jika demikian adanya, maka ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal.
Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak adanya. Jika dua kemungkinan di atas dinyatakan bathil, maka hanya tinggal satu kemungkinan lagi yakni Al Kholiq itu tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT. Inilah cara berfikir dalam menentukan sifat sang kholik yang shohih.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Dengan memahami bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah dan saling membutuhkan kepada yang lain, maka semua hanyalah makhluk. Karenanya untuk membuktikan adanya Al Khaliq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia itu sendiri.
Karena itu kita jumpai bahwa Al Qur’an senantiasa mengajak manusia untuk mengamati segala apa yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia tentang adanya Allah yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa ada keraguan. Banyak ayat Al quran yang berbicara berkenaan dengan hal ini, antara lain firman Allah :


“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)



Juga firman-Nya:


“(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainnya bahasa dan warna kulitmu.” (QS Ar Rum: 22)

Serta firman-Nya yang lain seperti QS Al Ghasiyah: 17-20, juga QS Ath Thariq: 5-7, atau juga firman-Nya berikut yang artinya :




“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS Al Baqarah: 164)

Masih banyak lagi ayat yang sejenis yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda-benda alam, serta melihat apa yang ada disekelilingnya untuk dijadikan petunjuk atas adanya Sang Pencipta yang Maha Pengatur. Dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi mantap, yang berakar dari akal dan bukti nyata.
Inilah jawaban shohih secara ringkas, tentang keberadaan Al Kholiq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan.















Skema Pemecahan Shohih Uqdatul Qubro’


Sifat Fitri Keimanan
Iman kepada Yang Maha Pengatur ini merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap manusia. Akan tetapi iman yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka. Keimanan semacam ini tidak bisa dianggap aman. Sebab perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah terhadap apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga dapat menjerumuskan ke arah kesesatan. Penyembahan berhala dan khurafat (cerita bohong), tak lain tak bukan akibat salahnya perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman.
Islam menegaskan penggunaan akal bersama-sama dengan perasaan hati dan mewajibkan atas setiap muslim untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta melarang bertaqlid (ikut-ikutan) dalam masalah aqidah. Untuk itulah Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT :



“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)

Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim membangun keimananya betul-betul muncul dari proses berfikir, meneliti, memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada Allah SWT secara mutlak.

Batas akal dalam memahami sang Khaliq
Kendati Islam mewajibkan atas manusia untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin akal manusia bisa memahami apa yang ada di luar jangkauan indranya. Hal ini karena sifat dan kekuatan akal manusia terbatas, sehingga pemahamannya pun terbatas.
Oleh karena itu, akal tidak mampu untuk memahami Dzat Allah dan hakekat-Nya, sebab Allah berada di luar ketiga unsur pokok alami yang dapat diindera manusia (alam semesta, manusia dan kehidupan). Hanya saja tidak dapat dikatakan : “Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada adanya Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Dzat Allah?”. Memang tidak bisa dikatakan demikian, sebab pada hakekatnya iman itu adalah percaya akan adanya (wujud/keberadaan-Nya) Allah, di mana wujud Allah ini dapat dipahami melalui keberadaan makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang dapat dicapai oleh akal.
Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat memahami adanya Al Khaliq, yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal. Lain halnya jika orang hendak memahami Dzat Allah di mana hal ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya di luar jangkauan kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin memahami hakekat apa yang berada diluar jangkauannya, disebabkan keterbatasannya untuk melakukan hal itu.
Sesungguhnya apabila iman kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap adanya Al Khaliq pun akan menjadi sempurna pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari fithrah-peny) yang mengatakan adanya Allah dibarengi pula oleh akal maka perasaan semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh, yang akan memberikan suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang yakin atas semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya hal ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakekat Dzat Allah, justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya.

2. Proses keimanan terhadap Rasul
Adapun bukti mengenai hubungan manusia terhadap para rasul dapat kita lihat dari terbuktinya manusia sebagai mahluk Allah SWT yang bersifat terbatas, akal dan kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama itu sebagai suatu hal yang fithri dalam diri manusia, karena ia merupakan salah satu fithrah pen-taqdis-an (pengagungan dan pensucian-peny) manusia. Dalam fithrahnya itu manusia senantiasa mentaqdiskan Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang selanjutnya dikenal sebagai ibadah, yang merupakan tali penghubung antara manusia dan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan tanpa aturan akan cenderung terjadi kekacauan ibadah serta menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap selain dari pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, karena ia sendiri tidak mampu memahami hakekat Al Khaliq (maksudnya tentang perbuatannya, apakah perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Al Khaliq-peny) untuk dapat meletakkan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Karenanya aturan ini harus datang dari Al Khaliq serta harus sampai ke tangan manusia. Maka tidak boleh tidak harus ada para rasul yang menyampaikan agama (aturan) Allah ini kepada umat manusia.
Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan manusia akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan gharizah/nalurinya merupakan hal yang mutlak diperlukan. Jika pemuasan ini dibiarkan berjalan tanpa aturan akan menjadi pemuasan yang salah, berlebihan serta menyebabkan malapetaka bagi manusia. Karena itu harus ada aturan yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Tetapi aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur gharizah dan kebutuhan jasmani selalu menjadi obyek (sasaran) kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang didiaminya. Maka dari itu aturan tersebut harus datang dari Allah SWT, yang untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah melalui seorang rasul.

3. Proses Keimanan terhadap Al Qur’an Kalamullah
Adapun bukti –yang sangat mudah – bahwa Al Qur’an itu datang dari Allah SWT, dapat dilihat dari kenyataan/fakta bahwa Al Qur'an itu sebuah kitab berbahasa arab yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena fakta tersebut, maka dalam upaya menentukan dari mana asal Al Qur'an itu, dapat kita buktikan dengan tiga kemungkinan dan hanya tiga kemungkinan itu, tidak ada kemungkinan yang lain. Ketiga kemungkinan tersebut adalah:
Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab.
Kemungkinan yang pertama ini, orang yang mengatakan bahwa Al Qur'an merupakan karangan bangsa Arab adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab Al Qur'an sendiri menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam firman-Nya:




“Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya.” (QS Hud: 13)




“Katakanlah: ‘Kalau benar yang kamu katakan maka coba datangkan sebuah surat yang menyamainya.” (QS Yunus: 38)

Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi, jelas Al Qur'an bukan berasal dari perkataan orang Arab, karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya yang serupa.

Kedua, ia merupakan karangan Muhammad SAW.
Adapun kemungkinan yang kedua, mengatakan bahwa Al Qur'an itu karangan Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari bangsanya. Jika bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Jelaslah bahwa Al Qur'an, bukan karangannya.
Hal tersebut makin diperkuat dengan banyaknya hadits-hadits shahih dan mutawatir dari Nabi Muhammad SAW, yang bila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al Qur'an jelas tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub), padahal keduanya berasal dari orang yang sama. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Jadi karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al Qur'an dengan gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa Al Qur'an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua. Kini tinggal tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al Qur'an itu disadur oleh Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr. Tuduhan itu ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmannya:



“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non arab), sedangkan Al Qur'an itu dalam bahasa Arab yang jelas.” (QS An Nahl: 103)

Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al Qur'an itu bukan karangan bangsa Arab atau karangan Muhammad SAW. Al Qur'an adalah perkataan Allah (kalam Allah) yang menjadi mukjizat bagi pembawanya (Muhammad SAW). Tidak ada kemungkinan lain selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur'an itu berbahasa Arab.

Ketiga, ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya.
Setelah kedua kemungkinan tersebut terbantahkan, kini hanya tinggal satu kemungkinan yaitu bahwa Al Qur’an itu adalah kalamullah. Kemungkinan inilah yang shahih di antara tiga kemungkinan yang ada. Kemungkinan ini sekaligus membuktikan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah karena tidak ada yang membawa syariat dan mukjizat kecuali seorang nabi dan rasul. Sedangkan yang membawa syariat (Al Qur’an) tersebut tidak lain adalah Muhammad SAW.

Demikian uraian-uraian singkat namun jelas dan tegas tentang dalil aqli untuk beriman kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan kepada Al Qur'an, bahwasanya Al Qur'an merupakan kalam Allah.

Konsekuensi Iman Kepada Allah, Rasulullah SAW, dan Al Qur’an
Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari akal dan memang harus datang dari jalan seperti ini. Ini pula yang menjadi dasar kuat untuk beriman terhadap hal-hal yang ghaib dan segala hal yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika kita telah beriman kepada Allah SWT, yang memiliki sifat-sifat ketuhanan itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh akal maupun tidak, karena semua itu dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari sini kita wajib beriman kepada hari kebangkitan dan pengumpulan (ba’ats), surga dan neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan adanya malaikat, jin dan syaithan, serta apa saja yang telah diterangkan Al Qur'an dan hadist qath’i. Iman seperti ini walaupun didapat dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan mendengar (sama’), akan tetapi pada dasarnya telah terbukti oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasarnya oleh akal. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash Al Qur'an dan hadist qath’i (mutawatir), haram baginya untuk meyakininya. Sebab aqidah tidak boleh diambil kecuali dengan kepastian (keyakinan).
Oleh karena itu kita wajib beriman kepada kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya Allah SWT dan proses penciptaan oleh-Nya; serta beriman kepada kehidupan setelah dunia yaitu hari akhirat. Perintah-perintah Allah itu merupakan tali penghubung (shilah) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dunia, yaitu hubungan penciptaan (shilatul khalq); dan sekaligus menjadi tali penghubung kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah dunia (shilatul muhasabah). Dan pastilah hal ihwal manusia terikat oleh tali penghubung ini. Karenanya manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan wajib beri’tiqad bahwa ia diciptakan oleh Allah, dan akan dihisab di hari kiamat atas segala perbuatannya di dunia.
Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran yang jernih tentang apa yang ada di balik kehidupan, alam semesta dan manusia. Telah terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang alam sebelum dan alam sesudah dunia. Dan bahwasanya terdapat ‘tali penghubung’ antara dunia dengan kedua alam tersebut. Dengan demikian telah terurailah ‘masalah besar’ itu secara pasti kebenarannya dengan Aqidah Islamiyah.
Apabila manusia telah berhasil memecahkan hal tadi ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan pemahaman yang benar (terhadap dunia), yang dihasilkan dari pemikiran dasar tersebut. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu prinsip ideologis kehidupan (mabda’) yang membentuk jalan menuju kebangkitan suatu kaum. Mabda’ itu pula yang akan menjadi dasar bagi tumbuh kembangnya peradaban (hadloroh) suatu kaum. Juga menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk mendirikan negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh (ide dasar) maupun thoriqoh (pola operasional/metode pelaksanaan) adalah Aqidah Islam itu sendiri. Allah SWT berfirman:




“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya dan hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauhnya kesesatan.” (QS An Nisa: 136)

Apabila semua ini (Iman kepada Allah, dst tadi) telah terbukti kebenarannya, maka wajib pula beriman kepada Syari’at Islam (sebagaimana terhadap Aqidah Islam). Karena seluruh syariat ini tercantum dalam Al Qur'an dan telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman maka ia kufur. Seorang yang ingkar terhadap hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian, dapat menyebabkan ia menjadi kufur. Baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadah, muamalah, uqubat (sanksi), ataupun math’umat (yang berkaitan dengan makanan). Maka kufur terhadap ayat:

“Dirikanlah shalat…..”
sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat:


“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah: 275)
Atau terhadap ayat :


“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya.” (QS Al Maidah: 38)
Atau ayat :


“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan (hewan yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS Al Maidah: 3)

Dengan demikian, iman terhadap syari’at sebenarnya tidak berhenti pada akal semata, tetapi juga harus ada penyerahan mutlak terhadap segala yang datang dari sisi-Nya, sebagaimana firman-Nya :




“Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya.” (QS An Nisa: 65)

Kebangkitan Manusia
Bangkitnya manusia tergantung dari landasan kehidupan (aqidah)nya, yang merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar tentang kehidupan ini. Karenanya umat harus diarahkan kepada aqidah yang benar, sehingga memiliki pandangan hidup yang benar dan mendorongnya berbuat sesuai dengan aturan yang muncul dari aqidah yang benar tadi. ‘Pemahaman aqidah’ ini selalu ada dalam diri suatu manusia, umat atau kaum; karenanya, untuk mengubah keadaan suatu kaum agar bangkit, aqidah inilah yang harus diubah terlebih dahulu. Allah SWT berfirman :



“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah ‘keadaan’ suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS Ar Ra’d: 11)

Satu-satunya jalan perubahan aqidah dengan membentuk pemikiran yang benar dan jernih tentang aqidah yang shohih yang melandasi kehidupan dan kebangkitannya. Hal ini dapat dengan menyampaikan (kepada manusia-peny) pemikiran yang benar tentang pemecahan simpul pada ‘masalah besar’ (Uqdatul Kubro’) dalam diri manusia. Apabila masalah besar ini telah teruraikan, maka terurai pula masalah yang lainnya, sebab hanya merupakan bagian atau cabang dari masalah besar tadi. Oleh karena itu bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan kehidupan berada diatas jalan yang mulia, harus terlebih dahulu memecahkan masalah besar ini dengan pemecahan yang benar, yakni dengan aqidah yang benar.
Islam telah menangani ‘masalah besar’ ini. Dipecahkannya untuk manusia dengan pemecahan yang sesuai dengan fithrah, memuaskan akal serta memberikan ketenangan jiwa. Oleh sebab itu Islam dibangun diatas satu dasar yaitu aqidah, yang mengatakan bahwasanya dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan terdapat Sang Pencipta (Al Khaliq) yang telah menciptakan ketiganya, dan yang telah menciptakan pula segala sesuatu yang lainnya. Dialah Allah SWT. Aqidah yang mengatakan bahwasanya Pencipta ini telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud (wajib adanya), Ia bukan makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk, serta memastikan pula bahwa ia mutlak adanya. Segala sesuatu menyandarkan wujudnya kepada diri-Nya, sedangkan Ia tidak bersandar kepada sesuatu apapun. 

AQIDAH ISLAMIYAH

Katakanlah : ”Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS Al Ikhlas: 1-2)

Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya berasal dari Allah. Sedangkan makna iman itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (Tashdiiqul Jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti nyata. Bersifat pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan (dzann) sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang diimani tersebut memang benar-benar ada, bukan diada-adakan (misal keberadaan Allah, kebenaran Al Qur’an, wujud malaikat, surga dan neraka). Semuanya Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu. Jika tidak ada dalil maka tidak bisa dikatakan pembenaran yang bersifat pasti.
Dalil dalam masalah keimanan, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung dari jenis perkara yang diimani. Jika perkara itu dapat dijangkau oleh panca indra/akal, maka dalil keimanan yang dipakai bersifat aqli, tetapi jika di luar jangkauan panca indra, maka dalil yang dipakai adalah dalil naqli. Namun yang perlu diingat bahwa menentukan sumber suatu dalil naqli juga harus ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut juga dilakukan melalui penyelidikan akal untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini, Imam Syafi'i berkata :
"Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah Ta'ala.
Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.

Peranan Akal dalam Masalah Keimanan
Akal adalah karunia Allah yang sangat berharga. Dengan akal manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam masalah keimanan akal sangat besar peranannya dalam mencari keberadaan sesuatu. Akal manusia mampu membuktikan keberadaan suatu hal yang berada di luar jangkauannya, apabila ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy (orang awam) takkala ditanyakan kepadanya "Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?" Jawabnya:
"Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan."

Oleh karena itu, banyak ayat Al-Qur’an menyuruh manusia untuk memperhatikan makhluknya dalam mencari bukti eksistensi/keberadaan Allah. Sebab, jika akal diajak untuk mencari Dzat-Nya, maka tidak mampu untuk menjangkau-Nya, seperti firman-Nya:



"Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang meyakini." (QS. Al Jaatsiyat: 3-4)
Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah berada di luar kemampuan akal. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan untuk menduga-duga menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
"Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikat-Nya yang sebenarnya." (HR Abu Nu'im dalam "Al Hidayah"; sifatnya marfu', sanadnya dhoif tetapi isinya shahih)

Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas 'Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa, tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh yang bermata banyak, anak kecil yang bersayap dan lain sebagainya.
Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui wahyu. Bila kita menghadapi ayat/hadits yang menceritakan tentang penyerupaan Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat/hadits tersebut dan menta'wilkannya sesuai dengan akal kita. Lebih baik ayat itu kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama salaf. Imam Ibnul Qoyyim berkata :
"Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al-Qur’an dengan suara bulat. Mereka tidak menta'wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya."
Ketika kepada Imam Malik ditanyakan tentang makna "persemayaman-Nya" (istiwaa'), beliau lama tertunduk dan bahkan sampai mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata :
"Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid'ah (salah)."

Dalil Naqli dalam Masalah Aqidah Harus Mutawatir
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, bahwa aqidah haruslah Tashdiiqul Jazm yang artinya pembenaran dengan pasti. Pembenaran dengan pasti ini berarti tidak boleh ada keraguan sedikitpun dalam mengimaninya (harus utuh/seratus persen). Karena dalam masalah aqidah/keimanan berarti menyangkut masalah iman atau kafir (Islam atau kufur). Jika ada sedikit saja keraguan dalam dalam hal aqidah/keimanan (misal Keberadaan malaikat), maka sesungguhnya keimanannya sudah dapat dikatakan cacat atau bahkan kafir. Untuk itulah dalil naqli yang digunakan dalam masalah aqidah haruslah kuat dan qath’i (pasti) serta tidak memberi peluang sedikitpun untuk ada keraguan di dalamnya.
Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang sudah dapat dipastikan membawa dalil-dalil naqli yang kuat dan qath’i. Selain itu, Al-Qur’an juga disampaikan secara mutawatir. Hal ini menjadikan kebenaran Al-Qur’an adalah qath’i/jazm serta tidak ada keraguan sedikitpun untuk mengimaninya. Dengan demikian penggunaan Al-Qur’an untuk dalil naqli dalam masalah aqidah tidak dapat diragukan lagi.
Berbeda halnya dengan Al Hadits yang adakalanya disampaikan secara mutawatir, adakalanya juga disampaikan secara ahad. Hadits Mutawatir artinya Hadits yang disampaikan oleh para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in dalam jumlah tertentu dalam setiap thabaqat-nya (generasi). Setiap generasi itupun periwayat yang membawanya haruslah mempunyai syarat-syarat yang akan menjadikan hadits mutawatir ini bersifat qath’i (pasti), tidak dzann (dugaan), sehingga kebenarannya seratus persen dan tidak dapat diragukan lagi. Adapun beberapa syarat dari hadits Mutawatir itu antara lain sebagai berikut:
a. Hadits yang disampaikan harus diterima langsung oleh perawi dengan pendengaran dan penglihatan langsung pada periwayat sebelumnya.
b. Jumlah rawi tiap generasinya (sahabat, tabi,in dan tabiit tabi’in) mencapai jumlah tertentu dan tidak memungkinkan mereka sepakat untuk berbohong. Jumlah ini harus seimbang tiap thabaqatnya .
c. Untuk memastikan bahwa perawinya tidak mungkin berbohong baik sengaja maupun tidak, maka haruslah mempunyai sifat adil, sempurna ingatan (hafalan kuat), dan beberapa syarat yang lain.
Akan halnya hadits ahad, hadits ini kekuatannya tidak bisa dipastikan seratus persen (qath’iy) serta masih mengandung dzann (dugaan), baik sedikit maupun banyak. Jumlah perawinya pun lebih kecil dari hadits mutawatir dengan kondisi dan syarat-syarat tidak sekuat hadits mutawatir. Hal inilah yang menjadikan hadits ahad bersifat tidak qath’i (pasti kebenarannya) sehingga walau sedikit masih mengandung unsur keragu-raguan (dzan) . Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa dalam masalah aqidah tidak boleh ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Oleh sebab itu hadits ahad tidak dapat digunakan sebagai dalil naqli khusus untuk masalah aqidah, namun tetap dapat digunakan dalam masalah selain aqidah tergantung kekuatan hadits ahad tersebut .

Kerusakan Aqidah Ummat Islam Akibat Filsafat Yunani
Sebagian ulama khalaf (Mutaakhirin), terutama ahli ilmu kalam (Mutakallimin) tidak menjalani cara yang ditempuh oleh ulama salaf dalam masalah aqidah. Mereka tidak puas dengan cara berpikir demikian. Karenanya, mereka lalu menta'wilkan suatu Al Wahyu yang termasuk Mutasyabihat (tidak dijelaskan rinci oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti tentang sifat dan perbuatan Allah SWT), sesuai dengan kehendak akalnya. Padahal semua itu berada diluar kemampuan akal. Mereka menggunakan dalil aqli dengan dasar mantiqi/logika untuk membahas hal-hal seperti bergeraknya Allah, Allah turun ke langit, hubungan antara sifat dengan Dzat Allah, dll.
Meski ulama khalaf menempuh jalan yang tidak sesuai dengan apa yang telah diturunkan Al Qur’an, tetapi mereka masih tetap beriman kepada Islam dan tetap bertolak dari dalil-dalil syar'iy. Namun mereka telah mencoba menggunakan akal untuk memecahkan persoalan yang pernah dialami oleh para filosof Yunani terdahulu, tanpa kembali pada ketentuan Al Wahyu dan contoh Rasulullah SAW. Mulailah mereka melontarkan kembali masalah-masalah klasik, seperti Wihdatul Wujud dll. Pendapat-pendapat mereka (ahli kalam dan filosof) telah meragukan umat terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan masalah aqidah, bahkan berhasil pula menyesatkan dan mengeluarkan sebagian kaum muslimin dari Islam. Karenanya aqidah Islam perlu dijauhkan dari ilmu mantik atau filsafat agar tidak membahayakan aqidah ummat. Sumber aqidah hanyalah Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir. Metode yang digunakan adalah metode aqliyah (melalui pemahaman terhadap dalil aqli dan naqli) sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, jauh sebelum umat Islam bertemu dengan ahli filsafat (Yunani) dan ajaran-ajarannya. Rasulullah mampu merubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi dengan Islam yang saat ini dapat kita rasakan 

siapa yang melihat saya