Sabtu, 07 Agustus 2010

Membangun Menyewa dan Menyerahkan Build Lease and Transfer (BLT)


Membangun Menyewa dan Menyerahkan
Build Lease and Transfer (BLT)


1.      Pendahuluan
Model  kerjasama antara pemerintah dan swasta dibedakan menurut  peran  serta  antara peperintah dan pihk swasta model kerjasama itu antara dibedakan menurut tingkatan investasi antara pemerintah dan swasta yang terdiri atas Service contract, Build lease and transfer (BLT), Build Operate and Transfer (BOT), Rehabilitate Operate Transfer (ROT), Build Own Operate Transfer (BOOT), Develope Build Finance Operae (DBFO), Build Own Operate (BOO) dan Rehabilitate Operate Own (ROO).
Model kerjasama antara pemerintah dan swasta digram berikut ini:
Gambar 1 Moodel Kerjasama Pemerintah dan Swsta
(http://www.hubdat.web.id/downloads/rakornis/2006/bappenas.pdf)

2.      Pengertian
a.       Build Lease and Transfer (BLT) Single Operational merupakan bentuk kerjasama khusus dimana bidang usahanya berupa “bangunan komersial”. Salah satu pihak dalam kerjasama ini adalah pemilik yang menguasai tanah, sedangkan pihak lain – investor, diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial diatas tanah milik yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk mengoperasionalkan bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian fee tertentu selama jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu operasional berakhir investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial diatasnya kepada pihak pemilik / yang menguasai tanah(http://excellent-lawyer.blogspot.com/).
b.      Build Lease and Transfer (BLT), merupakan bentuk Perjanjian Kerjasama dimana Badan Usaha Swasta membangun proyek infrastruktur termasuk menanggung pembiayaannya. Setelah pembangunan proyek selesai, fasilitas tersebut disewakan kepada Pemerintah dalam bentuk sewa beli sesuai jangka waktu yang disepakati. Pada akhir Perjanjian Kerjasama, fasilitas infrastruktur tersebut diserahkan kepada Pemerintah. (http://excellent-lawyer.blogspot.com/).
c.       Bangun, Sewa dan Alih Milik (Build, Lease and Transfer - BLT), pihak swasta mendanai dan membangunan prasarana dan setelah selesai dibangun, prasarana prasarana tersebut diserahkan kepada Pemerintah untuk diopersikan dengan cara sewa. Selanjutnya Pemerintah akan membayar biaya investasi yang telah dikeluarkan. Dan setelah habis masa sewa, bangunan tersebut menjadi milik Pemerintah. (http://air.bappenas.go.id/)
d.      Build, Lease, Transfer (BLT) is a contract agreement where the government stipulates the private sector to conduct the construction of urban infrastructure and facilities, including its financing. After completing the construction, the private sector leases the facilities and infrastructure to the government for a certain period. When the leasing period expires, the private sector fully transfers the facilities and infrastructure to the government. (Final Report Processes and Prosedures For Goverentment Service Delivery)

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa; Kontrak Bangun Sewa Alih Milik (Build, Lease and Transfer, atau disingkat BLT) adalah suatu bentuk kerjasama Pemerintah dengan Swasta, dimana mitra Swasta bertanggungjawab membangun proyek di Daerah, termasuk membiayainya. Setelah selesai dibangun, fasilitas yang
bersangkutan disewakan kepada Pemerintah Daerh dalam bentuk perjanjian sewa beli sesuai jangka waktu yang disepakati. Setelah jangka waktu kerjasama berakhir, fasilitas tersebut menjadi milik Pemerintah Daerah. Mitra Swasta mendapat kembalian investasinya melalui uang sewa yang disepakati dengan Pemerintah Daerah selama jangka waktu tertentu. Setelah berakhirnya perjanjian sewa beli asset yang bersangkutan menjadi milik Pemerintah Daerah. Sama dengan BOT pilihan BLT biasanya dilakukan untuk proyek yang memerlukan investasi besar yang tidak mampu membelanjai dengan Dana Pemerintah Daerah.
Para pihak yang terlibat dalam pembangunan dengan pola  BOO/BOT ini adalah:
  1. Prinsipal/ Grantor adalah pihak yang secara keseluruhan bertanggungjawab atas pemberian konsesi dan merupakan pemilik akhir dari proyek/fasilitas tersebut setelah habisnya jangka waktu. Dalam hal ini Pemerintahlah yang bertindak sebagai Prinsipal atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.
  2. Promotor adalah suatu badan hukum/organisasi yang diberi konsesi untuk membangun, memiliki, mengoperasikan dan mengalihkan fasilitas tertentu. Organisasi  promotor ini biasanya didukung oleh pihak-pihak lain, seperti : Contractor, Investor, Operator, Supplier, Lender , dan User. Pihak yang disebutkan ini masing-masing dapat menjadi satu dengan promotor ataupun terpisah.
3.      Kelebihan
Beberapa keuntungan yan dapaat diberikan BLT adalah:
  1. Tidak membebani neraca pembayaran pemerintah (offbalance-sheet financing);
  2. Mengurangi jumlah pinjaman Pemerintah maupun sektor publik lainnya;
  3. Merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang diprioritaskan (additional finance sources for priority projects);
  4. Tambahan fasilitas baru;
  5. Mengalihkan resiko bagi konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada sector swasta;
  6. Mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan maupun teknologi asing;
  7. Mendorong proses alih teknologi, khususnya bagi kepentingan negara-negara berkembang;
  8. Diperolehnya fasilitas yang lengkap dan operasional setelah masa akhir konsesi.
Pertimabangan dalam pemilihan kontrak BLT agar dalam pelaksanaanya proyek berjalan secara efisien maka diperlukan pertimbangan-pertimbangn faktor-faktor, seperti:
  1. Tipe fasilitas;
  2. Manfaat sosialnya;
  3. Dukungan Pemerintah (Prinsipal) yang dapat diberikan kepada Promotor;
  4. Kualifikasi dan pengalaman dari Promotor itu sendiri;
  5. Lokasi proyek/fasilitas tersebut;
  6. Besar ekuitas yang akan dipakai;
  7. Jaminan kelangsungan suplai bahan mentah;
  8. Jaminan pembelian atas produk dan atau jasa yang dihasilkan dari pengoperasian fasilitas-fasiltas tersebut;
  9. Jangka waktu konsesi;
  10. Komponen dari masing-masing paket yang terkait dengan konstruksi, operasi, pemeliharaan, pembiayaan dan penggerak perolehan penerimaan;

4.      Studi Kasus
Kasus 1
Pengadaan listrik swasta, PLN libatkan lender

JAKARTA, kabarbisnis.com: PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah menyiapkan skema pengadaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP). Menurut Direktur Pengembangan Bisnis PLN Murtaqi Samsudin, skema berdasarkan pengalaman ini diharapkan menjadi acuan tetap pengadaan IPP. Salah satunya adalah melibatkan langsung pihaklender.
"Lender sangat penting pada proses pengadaan IPP. Untuk itu skema pengadaan IPP perlu melakukan sounding terhadap keinginan lender dan developer,”' ujar Murtaqi. Secara umum Murtaqi mengungkapkan langkah-langkah skema pengadaan IPP meliputi lima tahap. Pertama, proses prakualifikasi dilakukan seleksi investor yang memiliki kemampuan finansial. Kedua, dilakukan sounding terhadap keinginan lender dan developer. Ketiga, PT PLN melakukan request for proposal.
Keempat, dilakukan klarifikasi sebelum bid closing. Kelima, financial clossing. "Berdasarkan skema seperti ini proses financial clossing bisa dilakukan lebih cepat. Selain itu juga diharapkan akan dihasilan developer dan investor yang tepat," papar Murtaqi. Langkah-langkah ini diharapkan juga bisa menaikan tingkat keberhasilan IPP yang selama ini masih tergolong rendah.

Sedang bentuk kerjasama IPP ada lima pilihan yaitu Build Operate Own (BOO), Build Operate Transfer (BOT), Built Lease Transfer (BLT), Deferred Payment dan sewa atau rental. "Kerjasama IPP sangat dibutuhkan. Mengingat besarnya kebutuhan penambahan kapasitas pembangunan pembangkit yang tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh PT PLN yaitu sekitar 30 GW hingga 2015," pungkasnya. kbc10
(http;//kabar Bisnis.com)

Analisis Studi Kasus
BLT merupakan salah satu pilihan dalam kerjasama kemitraan antara PLN dan swasta dalam pengadaan listrik. Hal ini dikarenakan oleh minimnya pendanaan yang dimiliki oleh PLN. Dalam pelaksanaannya PLN telah melakukan pertimbangan seleksi perusahaan yang akan diajak bekerjasama. Hal ini sudah sesuai dengan prosedur pelaksanaan kontrak BLT. Dalam pertimbangan ini seharusnya mempertimbangkan beberapa hal seperti;
·         Manfaat yang akan didapat;
·         Dukungan Pemerintah (Prinsipal) yang dapat diberikan kepada Promotor;
·         Kualifikasi dan pengalaman dari Promotor itu sendiri;
·         Besar ekuitas yang akan dipakai;
·         Jaminan kelangsungan
·         Jaminan pembelian atas produk dan atau jasa yang dihasilkan dari pengoperasian fasilitas-fasiltas tersebut;
·         Jangka waktu konsesi;
·         Komponen dari masing-masing paket yang terkait dengan konstruksi, operasi, pemeliharaan, pembiayaan dan penggerak perolehan penerimaan;

Kasus 2

PPP Penyediaan Infrastruktur Model Korea Selatan

Salah satu kunci bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi adalah ketersediaan infrastruktur yang memadai. Sebab, infrastruktur yang memadai akan menjamin pergerakan manusia dan barang secara efektif dan efisien sehingga mampu menekan biaya (cost) yang pada akhirnya akan mendorong investasi dan produksi.
Saat ini kondisi infrastruktur Indonesia masih memprihatinkan. Untuk sektor jalan, panjang jaringan jalan rata-rata hanya 217 km per 1000 km2. Padahal, jalan merupakan infrastruktur transportasi utama dibandingkan lainnya, seperti laut, udara, dan kereta api. Sektor jalan, misalnya, melayani lebih dari 84% dari total penumpang. Bahkan untuk pengangkutan barang, jalan melayani porsi sekitar 91,25% dari total muatan. Padahal, dengan karakteristik negara kepulauan seperti Indonesia, seharusnya metode dasar (moda) transportasi laut dan udara berperan signifikan.
Sektor perkeretaapian yang memiliki karakteristik transportasi massa juga masih belum mampu memainkan peran dengan baik. Kontribusi sektor ini dalam sistem komuter Jakarta hanya sekitar 2,5%. Sementara kontribusi untuk perjalanan jarak jauh juga masih sangat kecil (7,32% untuk penumpang dan 0,63% untuk barang) dan baru melayani pulau Jawa dan Sumatra. Dari total panjang jalur kereta api 6.797 km yang ada, hanya 4.675 km (69%) yang dioperasikan.
Di sektor kelistrikan Indonesia menghadapi masalah kekurangan pasokan pada beberapa wilayah. Untuk mengatasi krisis ini dibutuhkan 2 juta sambungan baru setiap tahun agar pada tahun 2020 tujuan “electricity for all” dapat tercapai. Secara keseluruhan, rasio elektrifikasi Indonesia masih berada pada kisaran 58%. Bila menggunakan asumsi jumlah penduduk tahun 2005 yang hampir 219 juta jiwa, ini berarti baru sekitar 58% penduduk Indonesia atau sekitar 127 juta penduduk Indonesia yang dapat menikmati pelayanan jasa listrik. Sedangkan 42% lainnya, atau sekitar 92 juta penduduk masih belum bisa menikmati jasa listrik.
Peningkatan akses akan infrastruktur yang lebih baik memerlukan investasi yang luar biasa besar. Untuk periode 2005-2009 saja secara rata-rata diperlukan investasi sebesar US$13 miliar per tahun. Oleh karenanya, partisipasi swasta dalam penyediaan infrastruktur menjadi sangat penting guna menutupi kesenjangan kebutuhan investasi. Pemerintah pun telah memfasilitasi keterlibatan swasta tersebut melalui model kemitraan pemerintah  dan swasta (public-private partnership/PPP) dengan skema pembagian risiko yang transparan. Namun, harus diakui bahwa implementasi PPP di Indonesia ini masih menemui sejumlah kendala. Padahal, di sejumlah negara lain, konsep PPP ini telah berhasil dalam mendorong pembangunan infrastruktur.
PPP Model Korsel
Salah satu contoh negara yang sukses melaksanakan PPP dalam pembangunan infrastruktur di dunia adalah Korea Selatan (Korsel). Dalam kurun waktu 10  tahun, Korsel telah berhasil meningkatkan fasilitas infrastruktur dengan partisipasi swasta yang semakin baik.
Sistem PPP yang dikembangkan merupakan konsep kerjasama dan kemitraan antara Pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Sebagai pelengkap investasi Pemerintah, PPP tidak hanya mendukung penyediaan infrastruktur ekonomi seperti jalan dan rel kereta api, tetapi juga infrastruktur sosial seperti sekolah dan cagar budaya.
Peran swasta dalam program kemitraan penyediaan infrastruktur meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1998, peran swasta dalam penyediaan infrastruktur masih pada angka 3,9% dari total kebutuhan investasi. Di tahun 2006 peran tersebut bahkan telah meningkat hampir 4,5 kali lipat menjadi 17,4% dari total kebutuhan investasi. Hal ini menandakan bahwa sektor swasta telah menjadikan program kemitraan ini sebagai salah satu alternatif menarik untuk berinvestasi.
Komitmen pemerintah Korsel untuk meningkatkan peran swasta dalam investasi infrastruktur telah dimulai sejak 1994 dengan pemberlakuan undang-undang kemitraan pemerintah-swasta, the Promotion of Private Capital into Social Overhead Capital Investment Act. Komitmen ini kemudian lebih diperkuat dengan revisi atas undang-undang tersebut menjadi the Act on Private participation in Infrastructure pada tahun 1999 yang mencakup pembagian risiko dan penjaminan pendapatan minimum bagi pihak swasta yang terlibat dalam kemitraan penyediaan infrastruktur. Dalam revisi undang-undang tersebut, Pemerintah juga mendirikan satu badan khusus yang fokus menyediakan asistensi teknis atas program kemitraan ini (sekarang bernama PIMAC, Public and Private Infrastructure Investment Management Center).
Selain dukungan legal dan institusional, Pemerintah juga menyiapkan dukungan dalam bentuk lain. Pertama, dalam rangka penyediaan infrastruktur, badan usaha pemegang hak konsesi dapat memiliki hak apropriasi tanah dan dapat menggunakan atau membeli aset publik secara cuma-cuma atau pada harga yang lebih rendah. Kedua, Pemerintah dapat memberikan subsidi konstruksi dan jaminan pendapatan minimum kepada pemegang hak konsesi. Ketiga, Pemerintah juga menyiapkan fasilitas pajak bagi beberapa item terkait dengan pembangunan infrastruktur. Keempat, Pemerintah memberikan kompensasi bagi proyek-proyek yang terpaksa dihentikan karena alasan yang tak terhindarkan. Kelima, bagi proyek-proyek PPP dapat diberikan jaminan kredit sehingga dapat menunaikan kewajiban keuangan secara tepat waktu.
Ada 15 (lima belas) kategori infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta, yakni jalan, perkeretaapian, pelabuhan laut, komunikasi, sumber daya air, energi, lingkungan, logistik, bandar udara, kebudayaaan dan pariwisata, akomodasi militer, fasilitas pendidikan, kehutanan, perumahan rakyat, dan fasilitas kesejahteraan. Kementerian teknis bertanggung jawab atas penyusunan dan pengkoordinasian rencana investasi sektor. Kementerian teknis juga melakukan pengelolaan dan pengawasan atas proyek-proyek PPP sektoral.
Dari beberapa skema implementasi PPP, Korsel kerap menggunakan 2 (dua) skema, yaitu skema BTO (Build-Transfer-Operate) dan BTL (Build-Transfer-Lease). Pada dua skema ini, pihak swasta sama-sama membangun dan mengoperasikan fasilitas infrastruktur, namun untuk BTO pihak swasta menerima pendapatan dari pemakai jasa, sementara untuk BTL pihak swasta menerima pendapatan dari Pemerintah. Skema BTO dapat digunakan untuk proyek inisiatif pemerintah (solicited projects) maupun swasta (unsolicited projects), sementara BTL digunakan untuk proyek inisatif Pemerintah saja.
Untuk skema BTO, sektor-sektor infrastruktur yang menarik swasta menurut jumlah proyek per Juni 2007 adalah jalan (32,1%), pelabuhan (30,2%), logistik (20,7%), perkeretaapian (11,3%), dan lingkungan (5,7%). Dalam skema BTL, swasta lebih tertarik pada sekolah (63,4%), lingkungan (26.6%), budaya (5,0%), asrama militer (2,9%), sektor perkeretaapian (1,4%), dan balai latihan kerja (0,7%). Yang tak kalah menarik adalah dari total 161 proyek BTO per Juni 2007 tersebut, terdapat 92 proyek (hampir 60%) yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, sementara sisanya oleh Pemerintah Pusat.
(http://www.risiko.fiskal.depkeu.go.id/index.php)
Analsis Studi Kasus:
Korea selatan merupakan salah  satu contoh negara yang sukses menerapkan program kemitraan dengan pihak swasta. Kemitraan ini sudah mampu melayani semua aspek infrastruktur negara. Adanya koomitmen dari pemerintah yang terus mendukung peranserta swasta dalam pembangunan menjadi salah satu aspek ppentingmendukung berkembangya program. Dukungan pemerintah ini juga diwujudkan dengan pemberian sarana Public and Private Infrastructure Investment Management Center yang berfungsi sebagai penghubunngdenga n pemerintah dan swasta. Selain itu dukungan pemerintah secara riel juga diberikan dengan bentuk
Pertama, dalam rangka penyediaan infrastruktur, badan usaha pemegang hak konsesi dapat memiliki hak apropriasi tanah dan dapat menggunakan atau membeli aset publik secara cuma-cuma atau pada harga yang lebih rendah.
Kedua, Pemerintah dapat memberikan subsidi konstruksi dan jaminan pendapatan minimum kepada pemegang hak konsesi.
Ketiga, Pemerintah juga menyiapkan fasilitas pajak bagi beberapa item terkait dengan pembangunan infrastruktur.
Keempat, Pemerintah memberikan kompensasi bagi proyek-proyek yang terpaksa dihentikan karena alasan yang tak terhindarkan.
Kelima, bagi proyek-proyek PPP dapat diberikan jaminan kredit sehingga dapat menunaikan kewajiban keuangan secara tepat waktu.
Dalam pengembangan kerjasama antara pemerintah dan swasta diperlukan adanya iklim infestasi yang mendukung. Iklim infestasi ini dapat terwujud dengan adanya dukungan dari pemerintah. Sealin menguntungkan kedua belah pihak adanya infestasi ini akan  membantu dalam menangani minimnya masalah pembiiayaan sehingga permasalhan-permasalan mengenai pendanaan dapat teratasi. Adanyaa insentif terhadap swasta juga akan memberikan dukungan berkembangny kemitraann yang dibangun oleh pemerintah. Dalam hal ini swasta sebagai mitra pemerintah tidak dipandang hanya sebagai perusahaan yangmemborong saja, melainkan dipandang sebagai anggota dalam pembangunan negara sehingga pembangunan negara dapat berjalan lancar
























Daftar Pustaka


Bappenas, 2006. Strategi Sektor Tansportasi dalam Era Otonomi Daerah. online (http://www.hubdat.web.id/downloads/rakornis/2006/bappenas.pdf ) diakses 26 Juni 2010
Kelmentrian Lingkungan Hidup Indonesia. Draft Final Skretariat TKPSDA 2003. Online (http://air.bappenas.go.id/main/modules/doc/pdf_download.php?prm_download_id=7&sbf=24&prm_download_table=16) diakses 20 Juni 2010
Pengadaan listrik swasta, PLN libatkan lender.online(www,kabarbisnis.com). diakses 26 Juni 2010.
PPP Penyediaan Infrastruktur Model Korea Selatan. Online (http://www.risiko.fiskal.depkeu.go.id/index.php). diakses 26 Juni 2010
Regional Development and Poverty Reduction Program, 2005. Final Report Processes and Prosedures For Goverentment Service Delivery. Online (http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Projects/288973-1118033888998/1218077-1150284192230/2654894-1150284704434/AturanMain.pdf(aturan main) diakses 26 juni 2010) diakses 26 Juni 2010.
Supriadi, 2010. Perjanjian Kerjasama online. (http://excellent-lawyer.blogspot.com/2010/04/perjanjian-kerjasama.html) diakses 26 Juni 2010.

PERKEMBANGAN KOTA BATAM SEBAGAI BAGIAN DARI INDONESIA-MALAYSIA SINGAPORE GROWTH TRIANGLE (IMT-GT)


Olleh ; Heri Darmadi

Jurusan Perencanaan Wilayh dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brwijaya

Letak Georafis Kota Batam
 Kota Batam dalah salah satu kotamadya yang berada di provinsi Kepulauan Riau yang terletak pada 0°.25'29'' - 1°.15'00'' Lintang Utara dan 103°.34'35'' - 104°.26'04'' Bujur Timur. Kota Batam memiliki luas wilayah daratan seluas 715 km², sedangkan luas wilayah keseluruhan meliputi wilayah perairan mencapai 1.570 km². Luas wilayah daratan tersebut dihuni oleh 988.555 penduduk1, sehingga kepadatan penduduk di kota tersebut sebanyak 38.661 jiwa/km². Populasi ini merupakan populasi ketiga terpadat di pulau Sumatra setelah kota Medan dan Kota Palembang.
Vibiz Regional Research Center © 2010 Lepmida.com, All Rights Reserved 2 Kota Batam terdiri dari 12 kecamatan, diantaranya adalah Batu Ampar, Belakang Padang, Bulang, Galang, Lubuk Baja, Nongsa, Sei Beduk, Batu Aji, Sagulung, Bengkong, Batam Kota, dan Sekupang. Kota Batam merupakan sebuah pulau yang terletak sangat strategis karena terletak di jalur pelayaran internasional dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Utara               :Singapura, Malaysia
Selatan                        :Kabupaten Linngga
Barat               :Kabupaten Karimun
Timur               :Pulau Bintan dan Tanjung Pisang
(www.wikipediaindonesia.com//Kota_Batam.htm)

Potensi Kota Batam
1.      Pariwisata
Lokasi  pulau Batam yang berbatasan laut dengan Singapura menybabkan wisatawan domestik yang ingin berwisata ke Singapura seringkali transit di Batam terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar tarif fiskal yang ditanggung menjadi separuh dari tarif apabila menggunakan pesawat udara langsung dari bandara soekarno hatta menuju Changi. Banyak pula penumpang Indonesia yang menggunakan maskapai asing yang bertolak dari Singapura menuju kota-kota lainnya di dunia yang memanfaatkan tarif fiskal yang lebih murah dari Batam tersebut. Seiring bertambahnya pengunjung ke Singapura, sektor pariwisata kota Batam bertambah pula. Batam memiliki berbagai objek wisata yang dikedepankan oleh pemerintah kota. Beberapa daerah tersebut diantaranya adalah Pantai marina, Pantai Mleur, dan Jembatan  Balerang.
Dalam pengembangan pariwisata, pemerintah kota batam mmemiliki beberapa strategi, diantaranya adalah mengadakan program Visisit  Batam 2010 Program ini serupa dengan program-program pemerintah daerah lain yang bertujuan untuk memperkenalkan daerah mereka kepada pasar pariwisata. Salah satu rangkaian acara yang ditawarkan dalam program ini adalah pecan MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), sebuah lomba membaca kitab suci Al-Qur’an tingkat nasionaldan pengahapusn kebijakan fiskal.

2.      Indusri
Sektor industri merupakann sektor utama PDRB kota batam, sektor ini memberikan pendapatn sebesar 46%. Setidaknya terdapat 26 kawasan industri di kota Batam. Beberapa kawasan industri yang terkenal dan terluas adalah Batamindo Industrial Park dengan luas mencapai 320 hektar.
Total luas 26 kawasan industri yang terdapat di kota Batam mencapai 3.811 hektar. Mengingat luas wilayah kota Batam yang mencapai 715.000 hektar, dengan peruntukan kawasan industri mencapai 6185 hektar, maka setidaknya masih terdapat lebih dari dua ribu hektar lahan yang dapat dipergunakan untuk kegiatan investasi di sektor industri dengan cara penanaman modal langsung. Angka-angka tersebut mencerminkan bahwa tingkat utilisasi lahan yang diperuntukkan bagi kawasan industri baru mencapai 61%.
Gambar 1. Pelabuhan Sebagai Sektor Penunjang Berkembangnya Kotbatam

Kota Batam Sebagai bagian dari Sijori
Segitiga Pertumbuhan SIJORI adalah perjanjian kerjasama antara Singapura, Johor (Malaysia, dan Kepulauan Riau (Indonesia) yang menggabungkan kekuatan kompetitif ketiga daerah untuk membuat subwilayah ini semakin menarik investor lokal dan internasional. Selain itu, perjanjian ini menghubungkan infrastruktur, kapital, dan kemajuan Singapura dengan sumber daya alam dan manusia dan luasnya daratan Johor dan Riau.
Segitiga Pertumbuhan SIJORI pertama diumumkan tahun 1989 oleh Wakil Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong. 'Segitiga pertumbuhan' ini diharapkan menjadi komponen kunci dari skema regionalisasi Singapura tahun 1980-an dan 1990-an, merelokasi industri buruh ke daerah tetangga seperti negara bagian Johor, Malaysia (dikenal sebagai Wilayah Pembangunan Iskandar) dan pulau Batam di provinsi Kepulauan Riau, Indonesia.

Keterkaitan Kota Batam Terhadap Perkembangan Singapura
Singapura sebagai salah satu negara industri ban, di kawasan Asia Pasifik blab dihadapkan pada ekonomi biaya tinggi sebagai akibat dari adanya peningkatan upah tenaga kerja dan sewa lahan. Keadaan ini mendorong pemerintah Singapura wituk mencari kawasan hinterland yang dapat menyediakan lahan dan tenaga kerja murah, tetapi tetap accessible dari keunggulan komparatif yang dimiliki Singapura. Secara logis Johor dan Riau muncul sebagai lokasi yang paling . ekonomis untuk djadikan hinterlandnya Singapura.  Singapura - Malaysia - Indonesia adalah negara ASEAN yang secara geografis tetaknya berdekatan dan masing-masing memiliki keunggulan komparatif yang berbeda sehingga memungkinkan ketiga negara tersebut membentuk suatu kerjasama pembangunan. Kerjasama tersebut lebih dikenal dengan nama SIJORI. Konsep segitiga pertumbuhan SIJORI, tidak akan tedepas dari kerjasama antar negara-negara peserta sehingga kebi~aksanaan tiap negara peserta dalam menangani kawasan SIJORI akan Baling berkaitan. Namun yang jadi pennasalahan di sini, sampai sejauh manakah keterkaitan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh salah satu negara peserta dalam hal ini Singapura, terhadap kebijaksanaan negara peserta lainnya khususnya Indonesia.
Atas dasar tersebut, studi ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana keterkaitan perkembangan perekonomian Singapura terhadap perkembangan wilayah P. Batam. Hal ini periu diketahui lebih jauh agar pemerintah Indonesia dalam menangani kawasan SIJORI, tidak menjadikan P. Batam sebagai 'pelayan' bagi kepentingan Singapura dan 'tenrpat sampah' bagi kegiatan industri yang bersifat `dirty industry' dari negara industri maju lainnya tenrtama Singapura, dan juga pemerintah Indonesia dapat mengambil manfaat dari adanya kerjasama SIJORI tersebut dalam mengembangkan wilayah P. Batam. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang memperbandingkan pola perkembangan perekonomian Singapura terhadap pola perkembangan penanaman modal asing khususnya modal Singapura di P. Batam, dan kemudian dilanjutkan dengan penggunaan teknik analisis input - output guna melihat pengaruh yang ditimbulkan kegiatan ekonomi asal Singapura tersebut di P. Batam terhadap perekonomian Batam, maka diperoleh beberapa temuan yaitu:
Perkembangan penekonomian Singapura mempengaruhi terhadap tingkat penanaman modal Singapura di P. Batam. Namun pengaruh tersebut tidak bersifat langsung dalam pengertian bahwa perubahan yang terjadi pada perekonomian Singapura tidak secara langsung rnengubah tirigkat penanaman modal Singapura di P. Batam. Dengan demikian ada faktor penarik lainnya yang mempengaruhi tingkat penanaman modal Singapura di P. Batam, selain perkembangan perekonomian Singapura. Dengan menggunakan metoda input - output yang dimodifikasi, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun penanaman modal Singapura di P. Batam (khususnya pada sektor industri dan jasa) sangat dominan, akan tetapi tidak berpengaruh dalam penguatan struktur perekonomian Batam. Hal ini terlihat dari kecilnya keterkaitan ke depan dan ke belakang yang ditimbulkan sektor inddustri dan jasa asal Singapura terhadap sektor ekonomi lainnya di P. Batam. Kondisi ini lebih dipertegas lagi dengan rendahnya derafat sensitifitas (besamya pengaruh tak langsung) sektor industri dan jasa asal Singapura tersebut. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan umum bahwa perkembangan perekonomian Singapura tidak banyak menambah perekonomian terhadap penguatan struktur perekonomian Batam











Daftar Pustaka


Lembaga Pengembangan Bisnis dan Investasi Daerah. 2010. Posisi Strategis Kota Batam.
Triantoro, Bambang. 2005. Studi keterkaitan perkembangan perekonomian Singapura terhadap perkembangan wilayah Batam. Depetremen Urban and Regional Palnning: ITB Online (http; www.digilib.itb.ac.id.diakses 10 Junni 2010)
Wikipdia Indonesia, 2010.  Kota Batam. online. (www.wikipediaindonesia.com/kotta_batam diakses 10 Juni 2010)
Wikipdia Indonesia, 2010.  Segitiga Pertumbuhan Sijori (www.wikipediaindonesia.com/kotta_batam diakses 10 Juni 2010)


siapa yang melihat saya