Selasa, 05 Mei 2009

SISTEM KEBUDAYAAN ISLAM

a. Konsep dalam Kebudayaan Islam
Al-Quran memandang kebudayaan itu merupakan suatu proses dan meletakkanya sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal, hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi, cipta, rsa, dan karsa manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Kebudayaan islam merupakan hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa dan karya manusia yang berdasarkan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil olah akal, budi, rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang berkembang menjadi suatu peradaban.
Dalam perkembanganya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap dalam pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani, sehingga merugikan dirinya sendiri. Disini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal udinya sehingga meghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban islam.
Sehubungan daengan hasil perkembangan kebudayaan yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan atau disebut dengan sebagai peradaban islam, maka funsi-fungsi agama disini semakin jelas. Ketika perkembangan dari dinamika kehidupan umat manusia itu sendiri mengalami kebekuan karena keterbatasan dalam memecahkan persoalan kehidupanya sendiri, disini sangat terasa akan perlunya suatu bimbingan wahyu.
Kebudayaan itu akan terus berkembang, tidak akan punah berhenti selama masih ada kehidupan manusia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan aktifitas dan kreaktifitas manusia, baik dalam konteks hubungan dengan sesamanya, maupun dengan alam lingkunganya, akan selalu terkait dengan kebudayaan oranglain. Disini menunjukkan bahwa manusia adalahmakhluk budaya dan makhluk sosialyang tidak akan pernah berhenti dari aktifitasnya dan tidak akan pernah bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Kebudayaan baru akan berhenti apabila manusia sudah tidak sanggup lagi menggunakan akal budinya.
Allah mengutus para rasul dari jenis manusia dan dari kaumnya sendiri karena yang akan menjadi sasaran dakwahnya adalah umat manusia. Firman Allah SWT:
         
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka…..

Oleh sebab itu misi utama kerasulan Muhammad SAW, adalah untuk memberikan bimbingan pada umat manusia agar dalam mengembangkan kebudayaanya tidak terlepas diri dari nilai-nilai kettuhanan sebagaimana sabdanya:
“Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (H.R. Ahmad)
Artinya Nabi Muhammad SAW, mempunyai tugas pokok untuk membimbing manusia agar mengembangkan kebudayaan sesuai dengan petunjuk Allah. Sebelum Nabi diutus bangsa Arab sudah cukup berbudaya tetapi budaya yang dikembangkanya terlepas dari nilai-nilai ketaukidtan yang bersifat universal. Landasan pengembangan kebudayaan mereka dalah hawa nafsu.

b. Hubungan Islam dan Budaya
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “
Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.

c. Sikap Islam terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “ apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “
Dari situ, jelas bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar.

d. Prinsip-prinsip Kebudayaan Islam
Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya merupakan jaringan yang saling erat dan terkait. Kebudayaan tak aka nada tanpa adnya manusia, dan tidak ada satupun manusia yang sehat lahir dan batin di dunia ini yang tidak memiliki kebudayaan.Kebudayaan berasal dari kata bahasa sansekerta, budhayah, bentuk kata jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Berikut ini adalah beberapa definisi budaya .
• perkembangan dari kata majemuk budi daya yang berarti daya atau kemampuan dari budi atau akal (Koentjaraningrat, 1976).
• daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, (Djojodiguno, 1958).
Sedangkan beberapa definisi kebudayaan antara lain:
• segala hasil dari cipta, rasa, dan karsa dan rasa itu (Djojodiguno, 1958).
• merupakan hal-hal yang berkaitan dengan akal
• milik khas manusia, bukan ciptaan binatang ataupun tanaman yang tidak mempunyai akal budi (Faisal Ismail, 1997).
• manifestasi dari perwujudan segala aktivitas manusia sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang merupakan perwujudan dari ide, pemikiran, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dalam bentuk tindakan dan karya. Karena itu, kebudayaan adalah suatu yang spesifik manusiawi (Abdul Munir Mulkhan, 1996).
Jadi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil cipta, karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Islam adalah agama Allah SWT yang bersumber dari wahyu Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah pada Surat Ali Imran : 19
•     
.Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.

Islam merupakan sumber nilai, yang memberi corak kebudayaan. Karena itu, kebudayaan Islam bukan kebudayaan yang diciptakan oleh orang Islam atau masyarakat Islam, tetapi bersumber dari ajaran Islam, meskipun ia muncul dari orang islam atau masyarakat non-islam. Artinya, suatu kebudayaan yang muncul di luar masyarakat islam atau diciptakan oleh oleh orang islam luar, tetapi apabila dilihat dari kacamata islam sesuai dengan pesan dan nilai-nilai islam, maka ia dapat dikatakan sebagai kebudayaan islam. Jadi, suatu kebudayaan dikatakan Islam atau tidak, tidak diukur apakah kebudayaan itu diciptakan atau dimunculkan oleh orang atau masyarakat Islam atau non-Islam, tetapi apakah kebudayaan itu sesuai dengan pesan atau nilai-nilai islam atau tidak. Adapun karakteristik kebudayaan Islam adalah sebagai berikut :

1. Rabbaniyah.
Kebudayaan Islam bernuansa Ketuhanan,kebudayaan yang bercampur dengan keimanan secara umum dan ketauhidan secara khusus.
2. Akhlaqiyah
Kebudayaan Islam tidak ada pemisah antara akhlak dengan ilmu, perbuatan, ekonomi, politik, peperangan, serta dengan segi kehidupan lainnya.
3. Insaniyah
Kebudayaan Islam menghormati manusia, memelihara fitrah, kemuliaan dan hak-haknya selain itu tegak atas asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan Tuhannya.
4. 'Alamiyah
Kebudayaan Islam bersifat terbuka untuk semua kelompok manusia dan tidak menutup diri. Berkembang secara dinamis sejalan dengan perkembangan intelektualisasi dan kreatifitas manusia.
5. Tasamuh
Islam tidak memaksa orang lain (non muslim) untuk masuk kedalam lingkungan kebudayaan Islam.
6. Tanawwu'
Kebudayaan Islam beraneka warna tidak hanya memuat masalah ketuhanan; tetapi terdapat juga masalah ilmu pengetahuan , kemanusiaan, dan kealaman yang beraneka ragam.
7. Wasathiyah
Kebudayaan Islam mencerminkan sistem pertengahan antara berlebihan dan kekurangan, jasmani dan rohani, hak dan kewajiban, kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, serta antara dunia dan akhirat.
8. Takamul
Kebudayaan Islam saling terpadu dan saling mendukung antara kebudayaan Islam lainnya.
9. Bangga terhadap diri sendiri
Bangga terhadap sumber kebudayaan yang berketuhanan, kemanusian dan bernuansa akhlak. Sifat bangga ini menjadikan kebudayaan Islam enggan untuk dipengaruhi dengan yang lain yang menyebabkan hilangnya keistimewaan dan keorisinilannya (Yusuf Al-Qardhawy,2001).
Kebudayaan Islam merupakan kebudayaan yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma Islam dan bersumber pada ajaran Islam itu sendiri, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Menghormati akal. Kebudayaan Islam menempatkan akal pada posisi yang terhormat dan tidak akan menampilkan hal-hal yang dapat merusak akal manusia
       •                         • 
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.(Q.S Ali Imran :190-191)
2. Memotivasi untuk menuntut dan meningkatkan ilmu

                                
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadalah :11)


3. Menghindari taklid buta. Kebudayaan Islam hendaknya menghantarkan umat manusia untuk tidak menerima sesuatu sebelum teliti, tidak asal mengikuti orang lain tanpa tahu alasannya.
        •         
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S Al-Isra :36)


4. Tidak membuat pengrusakan. Kebudayaan Islam boleh dikembangkan seluas-luasnya oleh manusia, namun tetap harus memperhatikan keseimbangan alam agar tidak terjadi kerusakan di muka bumi ini. Prinsip ini diambil dari
                         •     
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.( Q.S. Al-Qashas :77)

e. Masjid Sebagi Pusat Kebudayaan Islam
Secara etimologi, masjid adalah tempat untuk sujud, sedang menurut terminologi masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti luas (Muhaimin dan Abd. Mujid,1993). Masjid pertama dibangun pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun pertama Hijriah, yaitu Masjid Quba di Madinah.
Fungsi masjid bukan sekedar tempat untuk solat saja, namun perlu juga diingat bahwa masjid di zaman Nabi berfungsi sebagai pusat peradaban. Masjid digunakan sebagai tempat membaca Al-Qur’an dan Al-Hikmah, sebagai tempat musyawarah perbagai persoalan kaum muslimin, dan membina sikap dasar kaum muslimin terhadap perbedaan agama dan ras hingga upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan umat. Masjid dijadikan simbol persatuan umat Islam.
Akan tetapi, masjid mengalami penyempitan fungsi karena adanya intervensi pihak-pihak tertentu yang mempolitisasi masjid sebagai alat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Masjid hanya mengajari umat tentang belajar baca tulis Al-Qur’an tanpa pengembangan wawasan dan pemikiran Islami dan tempat belajar umat tentang Ilmu Fiqih Ibadah justru lebih sempit lagi yaitu ibadah praktis dari salah satu mazhab. Bahkan masjid-masjid menjadi tempat belajar menghujat dan menyalahkan mazhab-mazhab lain yang berbeda.
Di Indonesia kondisi ini terjadi sejak masa penjajahan Belanda. Saat itu sangat sulit ditemukan masjid yang memiliki program nyata di bidang pencerahan keberagamaan umat dan memiliki kegiatan yang terprogram secara baik dalam pembinaan keberagamaan umat islam.
Pada perkembangan berikutnya muncul kelompok-kelompok yang sadar untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya. Di mulai dengan gerakan pesantren kilat di masjid pada awal tahun 1978 dan pengentasan buta huruf Al-Qur’an di awal tahun 1990-an yang mampu mengentaskan buta huruf Al-Qur’an sektar 30% anak-anak TK-SLTP dan 40% siswa SLTA dan mahasiswa.
Paradigma tentang masjid digali dari Al-Qur’an. Jika paradigma yang digunakan adalah Al-Qur’an, maka masjid didirikan berdasarkan takwa, tidak akan pernah berubah dari tujuan dan misinya. Oleh karena itu, tujuan dari pendirian masjid adalah berdasarkan takwa kepada Allah, bukan karena yang lain-lain, sebagaimana firman Allah SWT
                        •  
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (Qs. At-Taubah 107)

Fungsi masjid pada awal sejarah kebudayaan islam :
1. Sebagai sentral kebudayaan islam.
2. Pusat organisasi kemasyarakatan.
3. Sebagia pusat pendidikan dan tempat melaksanakan ibadah ritual dan I’tikaf.
4. Sebagai tempat pengadilan.
5. Sebagai tempat pertemuan pemimpin militer.
6. Sebagai istana tempat menerima duta asing.
Pendek kata masjid dijadikan sebagai pusat kerohanian dan social politik (Athiyah Al-Abrasyi, 1984). Saat ini fungsi masjid lebih efektif, jika di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas seperti:
1. Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin ilmu.
2. Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum atau sesudah sholat berjama’ah.
3. Ruang kuliah, baik digunakan untuk pendidikan maupun pelatihan-pelatihan remaja masjid.
Dilihat dari pertumbuhannya, masjid di Indonesia sangat menggembirakan. Dari tahun ke tahun jumlah masjid kian bertambah. Tetapi fungsionalisasinya belum optimal. Oleh karena itu, memfungsikannya secara optimal harus dilakukan. Untuk mengisi kegiatan masjid, menurut Didin Hafidhuddin (1988), dapat dilakukan kegiatan-kegiatan seperti :
1. Menyelenggarakan kajian-kajian keislaman yang teratur dan terarah menuju pembentukan pribadi muslim, keluarga muslim, dan masyarakat muslim.
2. Melaksanakan diskusi, seminar, atau lokakarya tentang masalah-masalah aktual.
3. Mengefektifkan zakat, infaq, dan shadaqah, baik mengumpulkannya maupun membagikannya.
4. Menyelenggarakan training-training keislaman, terutama untuk kegiatan pemuda.
5. Di samping dakwah bil-lisan, dakwah bil-hal juga perlu mendapat perhatian, seperti memberikan santunan bagi jama’ah yang membutuhkan, misalnya karena sakit, kena musibah, dan lain-lain.
6. Mengadakan dakwah melalui buku, brosur, buletin, atau majalah dengan mendirikan taman bacaan atau perpustakaan masjid.
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, diharapkan masjid kembali seperti pada masa Rasulullah SAW, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat melakukan ibadah semata, tetapi berfungsi juga sebagai pusat kebudayaan umat islam.

f. Nilai-nilai Islam dan Budaya di Indonesia
Bangsa Indonesia tang terdiri atas beberapa suku bangsa, agama, dan kebudataan lokal perlu menumbuhkan dua macam sistem budaya yang sama-sama dikembangkan. Kedua sistem budaya itu adalah: sistem budaya nasional dan sistem budaya daerah/etnik (Wardiman Djojonegoro, 1996)
Sistem budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang dalam proses pembentukan. Sementara itu, bangsa Indonesia terdiri atas banyak suku bangsa dengan sistem budaya etnik-lokal masing-masing. Sistem-sistem budaya yang otonom itu ditandai oleh pewarisan nilai-nilai melalui tradisi. Nilai-nilai tersebut telah berakar kuat dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam perkembangan budaya nasional, kebudayaan etnik-lokal ini sering kali berfungsi sebagai sumber atau sebagai acuan dalam penciptaan-penciptaan baru, yang kemudian ditampilkan dalam perkehidupan lintas budaya.
Islam yang merupakan agama bagi mayoritas penduduk Indonesia memiliki peran besar dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Bahkan dalam perkembangan kebudayaan daerah terlihat betapa nilai-nilai islam telah menyatu dengan nilai-nilai disebagian daerah di wilayah tanah air. Sementara itu dalam pengembangan budaya nasional peran islan dalam terbentuknya wawasan persatuan dan kesatuan bangsa telah dibuktikan dalam sejarah. Islam dapat menjadi penghubung bagi kebudayaan daerah tang sebagian besar masyarakatnya adadlah muslim.
Salah satu yang menjadi modal dasar bagi umat islam dalam mempersiapkan budaya adalah doktrin islam tentang hubungan antara agama dan ilmu, antara iman dan akal.
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam bersal dari negri Arab, maka Islam yang masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya.
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul Allah dan haru diingat bahwa beliau adalah orang Arab. Dalam kajian budaya sudah barang tentu apa yang ditampilkan dalam perilaku kehidupannya terdapat nilai-nilai budaya lokal. Sedangkan nilai-nilai Islam itu bersifat universal.
Corak dan potongan baju jang dikenakan oleh Rasulullah merupakan budaya yang ditampilkan oleh orang Arab. Yang menjadi ajarannya adalah menutup aurat, kesederhanaan, kebersihan dan kenyamanan. Sedangkan bentuk dan mode pakaian yang dikenakan umat islam boleh saja berbeda dengan yang dikenakan oleh Nabi SAW. Esensi ajarannya adalah bahwa segala sesuatu tidaklah berlebih-lebihan.
Dalam perkembangannya dakwah Islam di Indonesia, para penyiar agama mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali di tanah Jawa. Bahasa Al-Qur’an atau Arab sudah banyak diserap ke dalam bahasa daerah bahkan kedalam bahasa Indonesia baku. Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang dilakukukannya merupakan bagian dari ajaran Islam.
Tugas berikutnya para intelektual Muslim adalah menjelaskan secara sistematis dan melanjutkan upaya penetrasi yang sudah dilakukan oleh para pendahulunya.
Integrasi nilai-nilai Islam ke dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia ternyata tidak sekedar masuk pada aspek budaya semata tetapi sudah masuk ke wilayah hukum. Sebagai contoh dalam hukum keluarga (ahwal syakhsiyah) masalah waris, masalah pernikahan dan lain-lain. Mereka tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam masuk ke wilayah hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu Munawir Sadzali berani mengatakan bahwa hukum Islam sebagian besar sudah berlaku di Indonesia, tinggal masalah pidana saja yang belum dapat dilakukan

SISTEM KEBUDAYAAN ISLAM

a. Konsep dalam Kebudayaan Islam
Al-Quran memandang kebudayaan itu merupakan suatu proses dan meletakkanya sebagai eksistensi hidup manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia yang meliputi kegiatan akal, hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu perbuatan. Karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi, cipta, rsa, dan karsa manusia. Ia tidak mungkin terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan, namun bisa jadi lepas dari nilai-nilai ketuhanan.
Kebudayaan islam merupakan hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa dan karya manusia yang berdasarkan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang. Hasil olah akal, budi, rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang berkembang menjadi suatu peradaban.
Dalam perkembanganya perlu dibimbing oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap dalam pada ambisi yang bersumber dari nafsu hewani, sehingga merugikan dirinya sendiri. Disini agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal udinya sehingga meghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban islam.
Sehubungan daengan hasil perkembangan kebudayaan yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan atau disebut dengan sebagai peradaban islam, maka funsi-fungsi agama disini semakin jelas. Ketika perkembangan dari dinamika kehidupan umat manusia itu sendiri mengalami kebekuan karena keterbatasan dalam memecahkan persoalan kehidupanya sendiri, disini sangat terasa akan perlunya suatu bimbingan wahyu.
Kebudayaan itu akan terus berkembang, tidak akan punah berhenti selama masih ada kehidupan manusia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan aktifitas dan kreaktifitas manusia, baik dalam konteks hubungan dengan sesamanya, maupun dengan alam lingkunganya, akan selalu terkait dengan kebudayaan oranglain. Disini menunjukkan bahwa manusia adalahmakhluk budaya dan makhluk sosialyang tidak akan pernah berhenti dari aktifitasnya dan tidak akan pernah bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Kebudayaan baru akan berhenti apabila manusia sudah tidak sanggup lagi menggunakan akal budinya.



Allah mengutus para rasul dari jenis manusia dan dari kaumnya sendiri karena yang akan menjadi sasaran dakwahnya adalah umat manusia. Firman Allah SWT:
         
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka…..

Oleh sebab itu misi utama kerasulan Muhammad SAW, adalah untuk memberikan bimbingan pada umat manusia agar dalam mengembangkan kebudayaanya tidak terlepas diri dari nilai-nilai kettuhanan sebagaimana sabdanya:
“Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (H.R. Ahmad)
Artinya Nabi Muhammad SAW, mempunyai tugas pokok untuk membimbing manusia agar mengembangkan kebudayaan sesuai dengan petunjuk Allah. Sebelum Nabi diutus bangsa Arab sudah cukup berbudaya tetapi budaya yang dikembangkanya terlepas dari nilai-nilai ketaukidtan yang bersifat universal. Landasan pengembangan kebudayaan mereka dalah hawa nafsu.

b. Hubungan Islam dan Budaya
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “
Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.








c. Sikap Islam terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “ apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “
Dari situ, jelas bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar.



d. Prinsip-prinsip Kebudayaan Islam

Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya merupakan jaringan yang saling erat dan terkait. Kebudayaan tak aka nada tanpa adnya manusia, dan tidak ada satupun manusia yang sehat lahir dan batin di dunia ini yang tidak memiliki kebudayaan.Kebudayaan berasal dari kata bahasa sansekerta, budhayah, bentuk kata jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Berikut ini adalah beberapa definisi budaya .
• perkembangan dari kata majemuk budi daya yang berarti daya atau kemampuan dari budi atau akal (Koentjaraningrat, 1976).
• daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, (Djojodiguno, 1958).

Sedangkan beberapa definisi kebudayaan antara lain:
• segala hasil dari cipta, rasa, dan karsa dan rasa itu (Djojodiguno, 1958).
• merupakan hal-hal yang berkaitan dengan akal
• milik khas manusia, bukan ciptaan binatang ataupun tanaman yang tidak mempunyai akal budi (Faisal Ismail, 1997).
• manifestasi dari perwujudan segala aktivitas manusia sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang merupakan perwujudan dari ide, pemikiran, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dalam bentuk tindakan dan karya. Karena itu, kebudayaan adalah suatu yang spesifik manusiawi (Abdul Munir Mulkhan, 1996).

Jadi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil cipta, karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Islam adalah agama Allah SWT yang bersumber dari wahyu Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah pada Surat Ali Imran : 19
•     
.Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.

Islam merupakan sumber nilai, yang memberi corak kebudayaan. Karena itu, kebudayaan Islam bukan kebudayaan yang diciptakan oleh orang Islam atau masyarakat Islam, tetapi bersumber dari ajaran Islam, meskipun ia muncul dari orang islam atau masyarakat non-islam. Artinya, suatu kebudayaan yang muncul di luar masyarakat islam atau diciptakan oleh oleh orang islam luar, tetapi apabila dilihat dari kacamata islam sesuai dengan pesan dan nilai-nilai islam, maka ia dapat dikatakan sebagai kebudayaan islam. Jadi, suatu kebudayaan dikatakan Islam atau tidak, tidak diukur apakah kebudayaan itu diciptakan atau dimunculkan oleh orang atau masyarakat Islam atau non-Islam, tetapi apakah kebudayaan itu sesuai dengan pesan atau nilai-nilai islam atau tidak. Adapun karakteristik kebudayaan Islam adalah sebagai berikut :

1. Rabbaniyah.
Kebudayaan Islam bernuansa Ketuhanan,kebudayaan yang bercampur dengan keimanan secara umum dan ketauhidan secara khusus.
2. Akhlaqiyah
Kebudayaan Islam tidak ada pemisah antara akhlak dengan ilmu, perbuatan, ekonomi, politik, peperangan, serta dengan segi kehidupan lainnya.
3. Insaniyah
Kebudayaan Islam menghormati manusia, memelihara fitrah, kemuliaan dan hak-haknya selain itu tegak atas asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan Tuhannya.
4. 'Alamiyah
Kebudayaan Islam bersifat terbuka untuk semua kelompok manusia dan tidak menutup diri. Berkembang secara dinamis sejalan dengan perkembangan intelektualisasi dan kreatifitas manusia.
5. Tasamuh
Islam tidak memaksa orang lain (non muslim) untuk masuk kedalam lingkungan kebudayaan Islam.
6. Tanawwu'
Kebudayaan Islam beraneka warna tidak hanya memuat masalah ketuhanan; tetapi terdapat juga masalah ilmu pengetahuan , kemanusiaan, dan kealaman yang beraneka ragam.
7. Wasathiyah
Kebudayaan Islam mencerminkan sistem pertengahan antara berlebihan dan kekurangan, jasmani dan rohani, hak dan kewajiban, kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, serta antara dunia dan akhirat.
8. Takamul
Kebudayaan Islam saling terpadu dan saling mendukung antara kebudayaan Islam lainnya.
9. Bangga terhadap diri sendiri
Bangga terhadap sumber kebudayaan yang berketuhanan, kemanusian dan bernuansa akhlak. Sifat bangga ini menjadikan kebudayaan Islam enggan untuk dipengaruhi dengan yang lain yang menyebabkan hilangnya keistimewaan dan keorisinilannya (Yusuf Al-Qardhawy,2001).






Kebudayaan Islam merupakan kebudayaan yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma Islam dan bersumber pada ajaran Islam itu sendiri, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Menghormati akal. Kebudayaan Islam menempatkan akal pada posisi yang terhormat dan tidak akan menampilkan hal-hal yang dapat merusak akal manusia
       •                         • 
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.(Q.S Ali Imran :190-191)
2. Memotivasi untuk menuntut dan meningkatkan ilmu
                                
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadalah :11)


3. Menghindari taklid buta. Kebudayaan Islam hendaknya menghantarkan umat manusia untuk tidak menerima sesuatu sebelum teliti, tidak asal mengikuti orang lain tanpa tahu alasannya.
        •         
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S Al-Isra :36)


4. Tidak membuat pengrusakan. Kebudayaan Islam boleh dikembangkan seluas-luasnya oleh manusia, namun tetap harus memperhatikan keseimbangan alam agar tidak terjadi kerusakan di muka bumi ini. Prinsip ini diambil dari
                         •     
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.( Q.S. Al-Qashas :77)

e. Masjid Sebagi Pusat Kebudayaan Islam
Secara etimologi, masjid adalah tempat untuk sujud, sedang menurut terminologi masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti luas (Muhaimin dan Abd. Mujid,1993). Masjid pertama dibangun pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun pertama Hijriah, yaitu Masjid Quba di Madinah.
Fungsi masjid bukan sekedar tempat untuk solat saja, namun perlu juga diingat bahwa masjid di zaman Nabi berfungsi sebagai pusat peradaban. Masjid digunakan sebagai tempat membaca Al-Qur’an dan Al-Hikmah, sebagai tempat musyawarah perbagai persoalan kaum muslimin, dan membina sikap dasar kaum muslimin terhadap perbedaan agama dan ras hingga upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan umat. Masjid dijadikan simbol persatuan umat Islam.
Akan tetapi, masjid mengalami penyempitan fungsi karena adanya intervensi pihak-pihak tertentu yang mempolitisasi masjid sebagai alat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Masjid hanya mengajari umat tentang belajar baca tulis Al-Qur’an tanpa pengembangan wawasan dan pemikiran Islami dan tempat belajar umat tentang Ilmu Fiqih Ibadah justru lebih sempit lagi yaitu ibadah praktis dari salah satu mazhab. Bahkan masjid-masjid menjadi tempat belajar menghujat dan menyalahkan mazhab-mazhab lain yang berbeda.
Di Indonesia kondisi ini terjadi sejak masa penjajahan Belanda. Saat itu sangat sulit ditemukan masjid yang memiliki program nyata di bidang pencerahan keberagamaan umat dan memiliki kegiatan yang terprogram secara baik dalam pembinaan keberagamaan umat islam.
Pada perkembangan berikutnya muncul kelompok-kelompok yang sadar untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya. Di mulai dengan gerakan pesantren kilat di masjid pada awal tahun 1978 dan pengentasan buta huruf Al-Qur’an di awal tahun 1990-an yang mampu mengentaskan buta huruf Al-Qur’an sektar 30% anak-anak TK-SLTP dan 40% siswa SLTA dan mahasiswa.
Paradigma tentang masjid digali dari Al-Qur’an. Jika paradigma yang digunakan adalah Al-Qur’an, maka masjid didirikan berdasarkan takwa, tidak akan pernah berubah dari tujuan dan misinya. Oleh karena itu, tujuan dari pendirian masjid adalah berdasarkan takwa kepada Allah, bukan karena yang lain-lain, sebagaimana firman Allah SWT
                        •  
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (Qs. At-Taubah 107)

Fungsi masjid pada awal sejarah kebudayaan islam :
1. Sebagai sentral kebudayaan islam.
2. Pusat organisasi kemasyarakatan.
3. Sebagia pusat pendidikan dan tempat melaksanakan ibadah ritual dan I’tikaf.
4. Sebagai tempat pengadilan.
5. Sebagai tempat pertemuan pemimpin militer.
6. Sebagai istana tempat menerima duta asing.
Pendek kata masjid dijadikan sebagai pusat kerohanian dan social politik (Athiyah Al-Abrasyi, 1984). Saat ini fungsi masjid lebih efektif, jika di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas seperti:
1. Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin ilmu.
2. Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum atau sesudah sholat berjama’ah.
3. Ruang kuliah, baik digunakan untuk pendidikan maupun pelatihan-pelatihan remaja masjid.
Dilihat dari pertumbuhannya, masjid di Indonesia sangat menggembirakan. Dari tahun ke tahun jumlah masjid kian bertambah. Tetapi fungsionalisasinya belum optimal. Oleh karena itu, memfungsikannya secara optimal harus dilakukan. Untuk mengisi kegiatan masjid, menurut Didin Hafidhuddin (1988), dapat dilakukan kegiatan-kegiatan seperti :
1. Menyelenggarakan kajian-kajian keislaman yang teratur dan terarah menuju pembentukan pribadi muslim, keluarga muslim, dan masyarakat muslim.
2. Melaksanakan diskusi, seminar, atau lokakarya tentang masalah-masalah aktual.
3. Mengefektifkan zakat, infaq, dan shadaqah, baik mengumpulkannya maupun membagikannya.
4. Menyelenggarakan training-training keislaman, terutama untuk kegiatan pemuda.
5. Di samping dakwah bil-lisan, dakwah bil-hal juga perlu mendapat perhatian, seperti memberikan santunan bagi jama’ah yang membutuhkan, misalnya karena sakit, kena musibah, dan lain-lain.
6. Mengadakan dakwah melalui buku, brosur, buletin, atau majalah dengan mendirikan taman bacaan atau perpustakaan masjid.
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, diharapkan masjid kembali seperti pada masa Rasulullah SAW, yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat melakukan ibadah semata, tetapi berfungsi juga sebagai pusat kebudayaan umat islam.

f. Nilai-nilai Islam dan Budaya di Indonesia
Bangsa Indonesia tang terdiri atas beberapa suku bangsa, agama, dan kebudataan lokal perlu menumbuhkan dua macam sistem budaya yang sama-sama dikembangkan. Kedua sistem budaya itu adalah: sistem budaya nasional dan sistem budaya daerah/etnik (Wardiman Djojonegoro, 1996)
Sistem budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang dalam proses pembentukan. Sementara itu, bangsa Indonesia terdiri atas banyak suku bangsa dengan sistem budaya etnik-lokal masing-masing. Sistem-sistem budaya yang otonom itu ditandai oleh pewarisan nilai-nilai melalui tradisi. Nilai-nilai tersebut telah berakar kuat dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam perkembangan budaya nasional, kebudayaan etnik-lokal ini sering kali berfungsi sebagai sumber atau sebagai acuan dalam penciptaan-penciptaan baru, yang kemudian ditampilkan dalam perkehidupan lintas budaya.
Islam yang merupakan agama bagi mayoritas penduduk Indonesia memiliki peran besar dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Bahkan dalam perkembangan kebudayaan daerah terlihat betapa nilai-nilai islam telah menyatu dengan nilai-nilai disebagian daerah di wilayah tanah air. Sementara itu dalam pengembangan budaya nasional peran islan dalam terbentuknya wawasan persatuan dan kesatuan bangsa telah dibuktikan dalam sejarah. Islam dapat menjadi penghubung bagi kebudayaan daerah tang sebagian besar masyarakatnya adadlah muslim.
Salah satu yang menjadi modal dasar bagi umat islam dalam mempersiapkan budaya adalah doktrin islam tentang hubungan antara agama dan ilmu, antara iman dan akal.
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam bersal dari negri Arab, maka Islam yang masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya.
Nabi Muhammad SAW adalah seorang Rasul Allah dan haru diingat bahwa beliau adalah orang Arab. Dalam kajian budaya sudah barang tentu apa yang ditampilkan dalam perilaku kehidupannya terdapat nilai-nilai budaya lokal. Sedangkan nilai-nilai Islam itu bersifat universal.
Corak dan potongan baju jang dikenakan oleh Rasulullah merupakan budaya yang ditampilkan oleh orang Arab. Yang menjadi ajarannya adalah menutup aurat, kesederhanaan, kebersihan dan kenyamanan. Sedangkan bentuk dan mode pakaian yang dikenakan umat islam boleh saja berbeda dengan yang dikenakan oleh Nabi SAW. Esensi ajarannya adalah bahwa segala sesuatu tidaklah berlebih-lebihan.
Dalam perkembangannya dakwah Islam di Indonesia, para penyiar agama mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali di tanah Jawa. Bahasa Al-Qur’an atau Arab sudah banyak diserap ke dalam bahasa daerah bahkan kedalam bahasa Indonesia baku. Semua itu tanpa disadari bahwa apa yang dilakukukannya merupakan bagian dari ajaran Islam.
Tugas berikutnya para intelektual Muslim adalah menjelaskan secara sistematis dan melanjutkan upaya penetrasi yang sudah dilakukan oleh para pendahulunya.
Integrasi nilai-nilai Islam ke dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia ternyata tidak sekedar masuk pada aspek budaya semata tetapi sudah masuk ke wilayah hukum. Sebagai contoh dalam hukum keluarga (ahwal syakhsiyah) masalah waris, masalah pernikahan dan lain-lain. Mereka tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam masuk ke wilayah hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu Munawir Sadzali berani mengatakan bahwa hukum Islam sebagian besar sudah berlaku di Indonesia, tinggal masalah pidana saja yang belum dapat dilakukan

siapa yang melihat saya