Katakanlah : ”Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS Al Ikhlas: 1-2)
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya berasal dari Allah. Sedangkan makna iman itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti (Tashdiiqul Jazm), yang sesuai dengan kenyataan, yang muncul dari adanya dalil/bukti nyata. Bersifat pasti artinya seratus persen kebenaran/keyakinannya tanpa ada keraguan (dzann) sedikitpun. Sesuai dengan fakta artinya hal yang diimani tersebut memang benar-benar ada, bukan diada-adakan (misal keberadaan Allah, kebenaran Al Qur’an, wujud malaikat, surga dan neraka). Semuanya Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah/dalil tertentu. Jika tidak ada dalil maka tidak bisa dikatakan pembenaran yang bersifat pasti.
Dalil dalam masalah keimanan, ada kalanya bersifat aqli dan atau naqli, tergantung dari jenis perkara yang diimani. Jika perkara itu dapat dijangkau oleh panca indra/akal, maka dalil keimanan yang dipakai bersifat aqli, tetapi jika di luar jangkauan panca indra, maka dalil yang dipakai adalah dalil naqli. Namun yang perlu diingat bahwa menentukan sumber suatu dalil naqli juga harus ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut juga dilakukan melalui penyelidikan akal untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah. Dalam hal ini, Imam Syafi'i berkata :
"Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah Ta'ala.
Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berfikir tersebut dituntut untuk ma'rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai kepada ma'rifat terhadap hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indra dan ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.
Peranan Akal dalam Masalah Keimanan
Akal adalah karunia Allah yang sangat berharga. Dengan akal manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam masalah keimanan akal sangat besar peranannya dalam mencari keberadaan sesuatu. Akal manusia mampu membuktikan keberadaan suatu hal yang berada di luar jangkauannya, apabila ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan seorang Baduy (orang awam) takkala ditanyakan kepadanya "Dengan apa engkau mengenal Rabbmu ?" Jawabnya:
"Tahi onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan pernah ada orang yang berjalan."
Oleh karena itu, banyak ayat Al-Qur’an menyuruh manusia untuk memperhatikan makhluknya dalam mencari bukti eksistensi/keberadaan Allah. Sebab, jika akal diajak untuk mencari Dzat-Nya, maka tidak mampu untuk menjangkau-Nya, seperti firman-Nya:
"Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang meyakini." (QS. Al Jaatsiyat: 3-4)
Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia untuk berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah berada di luar kemampuan akal. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan untuk menduga-duga menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
"Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikat-Nya yang sebenarnya." (HR Abu Nu'im dalam "Al Hidayah"; sifatnya marfu', sanadnya dhoif tetapi isinya shahih)
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas 'Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisa, tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh yang bermata banyak, anak kecil yang bersayap dan lain sebagainya.
Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui wahyu. Bila kita menghadapi ayat/hadits yang menceritakan tentang penyerupaan Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat/hadits tersebut dan menta'wilkannya sesuai dengan akal kita. Lebih baik ayat itu kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama salaf. Imam Ibnul Qoyyim berkata :
"Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al-Qur’an dengan suara bulat. Mereka tidak menta'wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya."
Ketika kepada Imam Malik ditanyakan tentang makna "persemayaman-Nya" (istiwaa'), beliau lama tertunduk dan bahkan sampai mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata :
"Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid'ah (salah)."
Dalil Naqli dalam Masalah Aqidah Harus Mutawatir
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, bahwa aqidah haruslah Tashdiiqul Jazm yang artinya pembenaran dengan pasti. Pembenaran dengan pasti ini berarti tidak boleh ada keraguan sedikitpun dalam mengimaninya (harus utuh/seratus persen). Karena dalam masalah aqidah/keimanan berarti menyangkut masalah iman atau kafir (Islam atau kufur). Jika ada sedikit saja keraguan dalam dalam hal aqidah/keimanan (misal Keberadaan malaikat), maka sesungguhnya keimanannya sudah dapat dikatakan cacat atau bahkan kafir. Untuk itulah dalil naqli yang digunakan dalam masalah aqidah haruslah kuat dan qath’i (pasti) serta tidak memberi peluang sedikitpun untuk ada keraguan di dalamnya.
Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang sudah dapat dipastikan membawa dalil-dalil naqli yang kuat dan qath’i. Selain itu, Al-Qur’an juga disampaikan secara mutawatir. Hal ini menjadikan kebenaran Al-Qur’an adalah qath’i/jazm serta tidak ada keraguan sedikitpun untuk mengimaninya. Dengan demikian penggunaan Al-Qur’an untuk dalil naqli dalam masalah aqidah tidak dapat diragukan lagi.
Berbeda halnya dengan Al Hadits yang adakalanya disampaikan secara mutawatir, adakalanya juga disampaikan secara ahad. Hadits Mutawatir artinya Hadits yang disampaikan oleh para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in dalam jumlah tertentu dalam setiap thabaqat-nya (generasi). Setiap generasi itupun periwayat yang membawanya haruslah mempunyai syarat-syarat yang akan menjadikan hadits mutawatir ini bersifat qath’i (pasti), tidak dzann (dugaan), sehingga kebenarannya seratus persen dan tidak dapat diragukan lagi. Adapun beberapa syarat dari hadits Mutawatir itu antara lain sebagai berikut:
a. Hadits yang disampaikan harus diterima langsung oleh perawi dengan pendengaran dan penglihatan langsung pada periwayat sebelumnya.
b. Jumlah rawi tiap generasinya (sahabat, tabi,in dan tabiit tabi’in) mencapai jumlah tertentu dan tidak memungkinkan mereka sepakat untuk berbohong. Jumlah ini harus seimbang tiap thabaqatnya .
c. Untuk memastikan bahwa perawinya tidak mungkin berbohong baik sengaja maupun tidak, maka haruslah mempunyai sifat adil, sempurna ingatan (hafalan kuat), dan beberapa syarat yang lain.
Akan halnya hadits ahad, hadits ini kekuatannya tidak bisa dipastikan seratus persen (qath’iy) serta masih mengandung dzann (dugaan), baik sedikit maupun banyak. Jumlah perawinya pun lebih kecil dari hadits mutawatir dengan kondisi dan syarat-syarat tidak sekuat hadits mutawatir. Hal inilah yang menjadikan hadits ahad bersifat tidak qath’i (pasti kebenarannya) sehingga walau sedikit masih mengandung unsur keragu-raguan (dzan) . Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa dalam masalah aqidah tidak boleh ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Oleh sebab itu hadits ahad tidak dapat digunakan sebagai dalil naqli khusus untuk masalah aqidah, namun tetap dapat digunakan dalam masalah selain aqidah tergantung kekuatan hadits ahad tersebut .
Kerusakan Aqidah Ummat Islam Akibat Filsafat Yunani
Sebagian ulama khalaf (Mutaakhirin), terutama ahli ilmu kalam (Mutakallimin) tidak menjalani cara yang ditempuh oleh ulama salaf dalam masalah aqidah. Mereka tidak puas dengan cara berpikir demikian. Karenanya, mereka lalu menta'wilkan suatu Al Wahyu yang termasuk Mutasyabihat (tidak dijelaskan rinci oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti tentang sifat dan perbuatan Allah SWT), sesuai dengan kehendak akalnya. Padahal semua itu berada diluar kemampuan akal. Mereka menggunakan dalil aqli dengan dasar mantiqi/logika untuk membahas hal-hal seperti bergeraknya Allah, Allah turun ke langit, hubungan antara sifat dengan Dzat Allah, dll.
Meski ulama khalaf menempuh jalan yang tidak sesuai dengan apa yang telah diturunkan Al Qur’an, tetapi mereka masih tetap beriman kepada Islam dan tetap bertolak dari dalil-dalil syar'iy. Namun mereka telah mencoba menggunakan akal untuk memecahkan persoalan yang pernah dialami oleh para filosof Yunani terdahulu, tanpa kembali pada ketentuan Al Wahyu dan contoh Rasulullah SAW. Mulailah mereka melontarkan kembali masalah-masalah klasik, seperti Wihdatul Wujud dll. Pendapat-pendapat mereka (ahli kalam dan filosof) telah meragukan umat terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan masalah aqidah, bahkan berhasil pula menyesatkan dan mengeluarkan sebagian kaum muslimin dari Islam. Karenanya aqidah Islam perlu dijauhkan dari ilmu mantik atau filsafat agar tidak membahayakan aqidah ummat. Sumber aqidah hanyalah Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawatir. Metode yang digunakan adalah metode aqliyah (melalui pemahaman terhadap dalil aqli dan naqli) sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, jauh sebelum umat Islam bertemu dengan ahli filsafat (Yunani) dan ajaran-ajarannya. Rasulullah mampu merubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi dengan Islam yang saat ini dapat kita rasakan
Dapatkan uang yang banyak dari website Anda, 100% profit milik Anda sendiri
BalasHapus